Naturalisasi Pemain Sepak Bola, Demi Prestasi atau Tren Komersialisasi?

Naturalisasi Pemain Sepak Bola, Demi Prestasi atau Tren Komersialisasi?

ILUSTRASI Naturalisasi Pemain Sepak Bola, Demi Prestasi atau Tren Komersialisasi?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Fenomena naturalisasi itu jelas melampaui ranah sepak bola itu sendiri dan dapat membuka perdebatan tentang bagaimana kita mendefinisikan kewarganegaraan, identitas nasional, dan peran diaspora dalam konstruksi tersebut. 

Naturalisasi pemain asing untuk memperkuat timnas Indonesia terus menuai perdebatan di kalangan pencinta sepak bola tanah air. Kebijakan yang kerap dianggap sebagai ”jalan pintas” itu memunculkan berbagai pandangan dari berbagai pihak. Mulai pendukung hingga pengamat sepak bola nasional. 

Tidak sedikit yang berpendapat bahwa naturalisasi menghambat perkembangan pembibitan pemain lokal dan regenerasi talenta muda. Dalam beberapa tahun terakhir, isu itu makin relevan di Indonesia dengan hadirnya pemain-pemain yang dinaturalisasi guna memperkuat skuad Merah Putih di berbagai kompetisi internasional. 

Yang berpandangan netral mengambil sikap bahwa naturalisasi merupakan metode untuk menemukan keseimbangan antara memanfaatkan keahlian pemain naturalisasi dan tetap memberikan ruang bagi talenta lokal untuk berkembang. 

Menurut artikel 6 aturan FIFA, tanpa pertalian ”darah”, pesepak bola dapat mewakili timnas suatu negara jika memenuhi salah satu dari syarat berikut ini: ia lahir di negara tersebut, atau memiliki ayah atau ibu kandung atau kakek atau nenek yang lahir di sana, atau telah tinggal di negara itu selama lima tahun secara berturut-turut setelah menginjak usia 18 tahun. 

Dengan aturan yang lebih luas itu, seorang pemain dapat memenuhi syarat untuk mewakili beberapa negara. 

Contohnya, sebelum menjadi warga negara Indonesia (WNI), Sandy Walsh boleh mewakili Belgia, Inggris, Irlandia, Swiss, Belanda, atau Indonesia. Sebab, ia lahir di Belgia, berbapak berkebangsaan Irlandia kelahiran Inggris dan beribu Indonesia terlahir di Swiss. 

Selain itu, Walsh tumbuh besar di Belanda dan menjadi bagian dari timnas Belanda kelompok usia U-15 hingga U-20, termasuk ketika memenangi kejuaraan Eropa U-17 pada 2012 di Slovenia. Proses naturalisasi pemain timnas jalur itu dapat dilihat dari apa yang dialami Cristian Gonzales dan Marc Klok. 

Mereka tidak memiliki garis keturunan Indonesia, tetapi memenuhi syarat naturalisasi setelah mencapai masa tinggal minimal. Keduanya kemudian menjadi bagian penting timnas di era masing-masing. 

Gelombang naturalisasi diaspora dimulai dengan pesepak bola Kim Kurniawan, keturunan Indonesia berkebangsaan Jerman, disusul Diego Michiels, Stefano Lilipaly, dan lain-lain. Sejak akhir 2022, terjadi lonjakan signifikan jumlah naturalisasi pemain sepak bola tanah air.

Jika Sandy Walsh dan dua belas pemain lainnya dinaturalisasi dalam dua tahun terakhir berdasar keturunan, kasus Maarten Paes berbeda. Meski nenek dari pihak ibu Paes lahir di Kediri, Jawa Timur, keluarganya tidak memiliki darah Indonesia. 

Berdasar aturan, Paes tidak memenuhi syarat kewarganegaraan Indonesia karena Indonesia tidak mengakui prinsip ius soli (kewarganegaraan berdasar tempat lahir). 

Namun, pada 30 April 2024, Paes resmi menjadi WNI berkat Pasal 20 dalam UU Kewarganegaraan yang memberikan wewenang kepada presiden untuk memberikan kewarganegaraan kepada individu yang berjasa atau dengan alasan untuk kepentingan negara. 

Dalam hal ini, sepak bola dianggap sebagai kepentingan negara dan Paes dilihat dapat memberikan jasanya kepada negara.

KOMERSIALISASI INDUSTRI OLAHRAGA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: