Hukum Waris Adat dalam Perspektif Keadilan Gender

Hukum Waris Adat dalam Perspektif Keadilan Gender

Budaya Indonesia yang juga ada aturan hukum di dalamnya.-freepic-


Heru Saputra Lumban Gaol, Dosen Hukum Adat, Universitas Surabaya--

PERTENGAHAN tahun ini kita diajak berkontemplasi melalui film "How to Make Millions Before Grandma Dies". Tentang seorang pemuda bernama M yang meninggalkan rutinitasnya untuk merawat sang nenek yang menderita penyakit kanker. 

Sepanjang kisah, penonton dibawa larut dalam alur cerita M yang sebenarnya tidak sungguh-sugguh berniat merawat sang nenek. M hanya mengincar warisan yang akan ditinggalkan sang nenek. Di akhir kisah, M menyadari nilai warisan yang sesungguhnya adalah kasih sang nenek sepanjang hidupnya. 

Kisah semacam ini mengingatkan kita dalam dinamika konflik keluarga berhubungan tentang uang, warisan, dan moralitas. Problematika terkait waris begitu dekat dengan kehidupan masyarakat. Konfliknya bisa soal ketimpangan pembagian waris yang terkadang mengesampingan kedudukan pewaris karena faktor-faktor tertentu.

BACA JUGA:Ubaya Bentuk Organisasi Notaris dan PPAT Alumni

BACA JUGA:Alumni Ubaya Ciptakan Inovasi Popok Bayi Ramah Lingkungan dari Pelepah Pisang dan Daun Sirih

Waris merupakan suatu bagian kecil dari hukum kekeluargaan yang mengatur mengenai penyelesaian hak dan kewajiban manusia dalam hal harta kekayaan sebagai akibat dari meninggalnya manusia lain. Di Indonesia terdapat pluralisme dalam bidang hukum waris dan berlaku 3 sistem hukum waris yang masih eksis hingga kini, yakni sistem waris menurut hukum Islam, hukum perdata (Burgerlijk Weetbook) dan sistem hukum waris adat. 

Secara khusus, dalam waris adat dikenal ciri azas musyawarah dan mufakat di mana pembagian waris dilakukan atas mufakat bersama ahli waris secara tulus dengan suasana kekeluargaan (Akhmad Haries, 2014).

Negara memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mengimplementasikan hukum adat dengan memperhatikan sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal, matrilineal, maupun parental. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa hukum adat memiliki peran penting dalam proses pembangunan hukum nasional. Pluralisme hukum adat merupakan cerminan kehidupan bangsa Indonesia yang membentuk identitas budaya yang majemuk (heterogen).

Terlepas dari nilai instristik keberagaman ini, terdapat paradoks berkenaan dengan ketimpangan hak waris perempuan dan laki-laki dalam pembagian waris. Budaya patriarki yang menelisik masuk ke dalam kehidupan masyarakat adat dipercaya menjadi penyebab hadirnya ketimpangan gender dalam pembagian waris. 

BACA JUGA:Universitas Surabaya Luncurkan Ubaya Senior Education Program

BACA JUGA:Jalan Sehat IKA Ubaya, Pererat Hubungan Alumni dan Mahasiswa

Eksistensi waris adat yang demikian sejatinya masih dijalankan oleh masyarakat lokal sekalipun dipandang tidak lagi relevan dengan perkembangan tatanan sosial masyarakat yang menuntut kesetaraan. Diskursus ini menimbulkan gagasan unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum waris adat guna menciptakan kepastian hukum bagi perempuan dalam memperoleh kedudukan yang setara dalam pewarisan. 

Muncul pula gagasan liar yang mencoba meniadakan hukum waris adat tersebut ketika dirasa tidak mampu memberikan kepastian dan kemanfaatann hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: