Hukum Waris Adat dalam Perspektif Keadilan Gender

Hukum Waris Adat dalam Perspektif Keadilan Gender

Budaya Indonesia yang juga ada aturan hukum di dalamnya.-freepic-

Para ahli sebenarnya sudah lama dihadapkan pada keadaan dilematis yang memosisikan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Hukum adat diyakini merupakan kepribadian bangsa yang seharusnya dipertahankan. Namun di sisi lain dipandang menghambat kemajuan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan sosial karena minim kepastian hukum (Soetandyo Wignjosoebroto, 2014). 

Ketika mengkaji hal ini, penting untuk melihat sejauh mana nilai kebiasaan dapat diakui dalam konsep negara hukum (rechtstaat). Legitimasi pengakuan masyarakat adat hadir bersama dengan penafsiran frasa “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat” yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. 

BACA JUGA:FH Ubaya Pertahankan Predikat Kampus Hukum Terbaik Wilayah Timur

BACA JUGA:Kerja Sama Fakultas Hukum Ubaya dengan Harian Disway, Formal Hanya di Awal

Frasa tersebut menjelaskan pengakuan terhadap eksistensi hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya diberikan tanpa menegasikan nilai kemanusiaan serta perkembangan perbadaban. Pengakuan dan penghormatan tersebut juga tidak boleh mencederai konsep Indonesia sebagai negara kesatuan (unitarisme).

Dalam konteks kesetaraan gender, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Landasan hukum ini sejatinya bertujuan menghapus ketidakseimbangan hak bagi perempuan, termasuk hak waris adat sebagai bentuk kebebasan dalam bidang sosial-budaya masyarakat. 

Mengacu pada Pasal 5 huruf a CEDAW, sudah sepatutnya negara berupaya menghapus segala paradigma sosial-budaya yang cenderung mengistimewakan satu gender dalam praktik pewarisan. Model ini justru membangun stereotip yang cenderung tidak adil bagi perempuan, padahal dapat saja sebuah keluarga hanya memliki garis keturunan perempuan atau justru anak perempuan mengambil peran dan tangung jawab lebih dalam mengurus keluarga daripada anak laki-laki.

Persoalan hukum waris adat tidak hanya sebatas implementasi dalam pembagian waris yang diharapkan mampu melahirkan keadilan transformatif. Ini tentu sejalan dengan paradigma adat sebagai realitas sosial yang seharusnya bersifat dinamis dan mengedepankan keadilan lokal daripada kepastian hukum. 

BACA JUGA:Kerja Sama Fakultas Hukum Ubaya dengan Harian Disway, Formal Hanya di Awal

BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Guru Besar Ilmu Hukum Ubaya dan Mantan Anggota Komnas HAM Hesti Armiwulan Sochmawardiah: Fa Bu Xun Qing

Realitanya, otoritas lokal ini pada akhirnya harus tunduk pada otoritas yang bersifat nasional. Sekalipun, otoritas lokal itu dipertahankan selalu ada ruang atas ketimpangan dalam penerapan prinsip keadilan yang berbasis ramah gender. 

Oleh sebab itu, negara wajib menjaga eksistensi hukum waris secara sama, seimbang, dan sinergis dalam tatanan pembangunan hukum nasional. Sejauh ini upaya tersebut telah direalisasikan melalui pandangan hakim pasca kemerdekaan berupa yurisprudensi dan landmark decision Putusan Mahkamah Agung, seperti: Putusan MA Nomor 179/K/Sip/1961; Putusan MA Nomor 136/K/Sip/1967; Putusan MA No. 1048K/ Pdt/2012, dan lainnya. 

Putusan-putusan tersebut mencerminkan upaya penghormatan atas nilai lokal yang dipandang sesuai dengan perkembangan zaman dan keadilan gender. Hakim berupaya memberikan kedudukan yang setara bagi perempuan adat untuk memperoleh waris dan meminimalisir ketimpangan gender yang dinilai sudah tidak relevan.

Penyelarasan identitas budaya dalam putusan-putusan hakim ini mungkin dapat dimaknai sebagai intervensi negara. Kendati demikian, negara memang harus aktif dalam mengintegrasikan keadilan gender sebagai upaya pembangunan hukum. Pada akhirnya, kebiasaan maupun hukum positif tentu tidak sepatutnya memarginalkan dan mendeskreditkan peran satu gender atas lainnya. Hukum seharusnya memberikan ruang keadilan yang terbuka bagi siapapun. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: