Spirit Bisnis Warung Madura
ILUSTRASI Spirit Bisnis Warung Madura--
Ekologi tegalan yang membentuk pola permukiman penduduk, membuat desa di Madura tidak mengenal batas-batas kewilayahan. Masyarakat lebih dekat dengan kampung atau dusun yang terdiri atas beberapa keluarga.
Karena itu, menurut Kuntowijoyo (Madura, 2017), desa dalam masyarakat Madura yang tegalan bukanlah ”masyarakat terpadu yang tertutup” (close corporate community) maupun kelompok masyarakat linear, melainkan lebih merupakan suatu ”masyarakat terbuka”, pekerja keras, jujur, tegas, dan dinamis. Hanya, secara ekonomis sering bergantung pada keadaan alam tegalan.
Dalam konteks kekinian, hijrahnya orang Madura dari tanah kelahira untuk merantau, termasuk dengan membuka usaha warung, tidak bisa dilepaskan dari faktor geografis, kondisi alam Madura, dan keterbukaan masyarakatnya.
Madura, yang terletak di sebelah timur laut Pulau Jawa, merupakan pulau yang dikenal dengan kondisi alamnya yang gersang, tidak cukup memiliki akses air bersih dan lahan yang tidak subur. Pertanian masyarakat Madura sering kali kurang memberikan hasil yang memuaskan.
Kondisi itulah yang melahirkan daya juang dan kemandirian. Mereka seakan dipaksa untuk keluar dari kampung halaman demi penghidupan yang lebih baik. Inovasi muncul dari sana. Mereka sering menjalankan bisnis yang jarang dilakukan orang kebanyakan.
Berdagang besi tua, membuka gerai pangkas rambut di mana-mana, dan berjualan sate keliling di kampung orang lain.
BACA JUGA:Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (4): Rela Melekan untuk Saingi Ritel Modern
Fenomena perantauan atau ”alajar” (berlayar atau merantau mencari nafkah) menjadi bagian integral dari budaya mereka sejak masa lampau. Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar di berbagai provinsi di Indonesia, orang Madura membuka usaha kecil seperti warung, bengkel, atau usaha dagang lainnya.
SEMANGAT ALAJAR
Warung Madura yang beroperasi tanpa henti bukan hanya usaha mencari keuntungan. Melainkan, ada unsur ketangguhan mental yang dibawa dari budaya Madura. Warung Madura sering kali dikelola bersama anggota keluarga, tanpa banyak karyawan.
Semangatnya, ”dua menit sebelum kiamat”, warung Madura baru akan tutup. Dengan bekerja sepanjang waktu, mereka ingin memberikan pelayanan penuh kepada pelanggan, sekaligus memaksimalkan pendapatan. Di toko selebar 3 x 3 meter itulah mereka bekerja, tidur, mendidik anak, dan menjalani hidup. Langkah itu, oleh sebagian orang, dianggap ”melampaui batas rasionalitas” ekonomi.
Semangat pantang menyerah itu juga dipengaruhi falsafah hidup orang Madura yang ”alajar”. Atau, ”alaku sakale mon kare-kare kaluar romah”. Bekerja sepenuh hati (tidak tanggungan) jika sudah keluar dari rumah.
Dalam konteks bisnis, falsafah itu mencerminkan gereget pada nilai-nilai kerja keras dan tanggung jawab. Orang Madura itu meyakini bahwa hidup harus dihadapi dengan perjuangan tanpa henti. Tidak ada istilah menyerah sebelum berhasil. Konon, Jokotole pantang pulang sebelum mengalahkan raja Blambangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: