Spirit Bisnis Warung Madura
ILUSTRASI Spirit Bisnis Warung Madura--
FENOMENA warung Madura yang tersebar di hampir setiap sudut kota di Indonesia merupakan salah satu bukti nyata dari spirit bisnis orang Madura. Dalam setiap warung kecil yang beroperasi selama 24 jam itu tersimpan sebuah narasi tentang ketangguhan, keuletan, serta keberanian orang Madura dalam menghadapi problem hidup dan kehidupan.
Bukan sekadar bisnis, warung Madura telah menjadi representasi budaya dan karakter masyarakat Madura yang dikenal gigih dalam memenuhi kebutuhan hidup. Layaknya sebuah pertaruhan pada sebuah takdir, di antara mereka ada yang sukses meraup keuntungan besar.
Mereka membangun rumah di tanah kelahiran, membeli mobil, melengkapi perhiasan dan perabot rumah tangganya, serta memenuhi kebutuhan (tersier) hidup lainnya. Namun, tidak sedikit yang harus pulang ke kampung halaman dengan tangan hampa, meninggalkan kelelahan di tanah rantau, bahkan mengalami kerugian.
BACA JUGA:Peramal India Sebut Kiamat 29 Juni 2024, Habib Jafar: Tetap Tenang, Warung Madura Tetap Buka!
Pertanyaannya, mengapa orang-orang Madura itu harus merantau keluar dari tanah kelahirannya? Apakah sekadar masalah ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup? Atau, tebersit dorongan (narasi) sosio-kultural yang lebih dari sekadar urusan kenyang dan kekayaan?
EKOLOGI TEGALAN
Jika berkesempatan jalan-jalan ke Madura –menyusuri Pulau Madura dari Jembatan Suramadu ke Sumenep, baik lewat jalur utara maupun selatan –pembaca akan menemui bagaimana kondisi geografis dan ekologis tanah Madura.
Dalam bahasa Clifford Geertz (1963), Madura itu lekat dengan ekologi tegalan yang menarik dikaji karena sangat menentukan jalannya sejarah. Ekologi tegalan ditandai dengan kurangnya curah hujan, tanah liat yang mengandung kapur, dan tiadanya sungai yang berarti.
Di samping itu, tegalan ditandai dengan sedikit sawah hujan dan sangat sedikit sawah basah. Pepohonan yang menonjol adalah siwalan dan jati. Di tegalan orang menanam palawija seperti jagung dan tembakau.
Ekologi tegalan juga cocok untuk beternak sapi yang tidak banyak memerlukan air. Belum lagi lahan garam yang butuh panas terik matahari. Itulah Madura.
Tumbuhnya siwalan-jati dan garam menjadi sebuah tanda tentang sebuah budaya atau karakter sosial yang menempel di dalamnya. Di Sumenep, misalnya, siwalan tumbuh dengan baik di beberapa kecamatan.
Ekotipe tegalan sangat berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa. Mengingat perbedaan itulah, Clifford Gertz menganggap tegalan sebagai sebuah ekosistem tersendiri.
BACA JUGA:Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (2): Jadi Jembatan Kesejahteraan Keluarga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: