Kamisan Terakhir yang Membangunkan Realitas Kembalinya Orde Baru

Substansi dari RUU TNI secara terang-terangan membuka ruang bagi militer untuk kembali menduduki jabatan-jabatan sipil dengan payung hukum yang sah. -Julian Romadhon-Harian Disway
HARIAN DISWAY - Kamis, 20 Maret 2025, ribuan massa turun ke jalan dalam aksi Kamisan serentak di berbagai kota Indonesia. Tuntutannya jelas. Selain menuntut pemerintah beberapa tuntutan seperti Kamisan sebelumnya, kali ini aksi Kamisan menolak pengesahan RUU TNI.
Pengesahan aturan tersebut dianggap membuka jalan bagi dominasi militer dalam ranah sipil. Ironisnya, Kamisan yang dulu lahir sebagai perlawanan terhadap kejahatan Orde Baru dan dwifungsi ABRI, kini justru menghadapi ancaman yang sama. Sejarah benar-benar berulang kembali.
Kamisan kemarin membangunkan kita untuk menghadapi realitas bahwa bayang-bayang Orde Baru kembali menyusup dalam rezim masa kini. Reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata rakyat Indonesia lenyap begitu saja pasca-disahkan RUU tersebut.
BACA JUGA: Pakar Hukum UGM Kritik Sikap Represif Pada Pendemo Tolak UU TNI di Surabaya
Refleksi Negara yang Semakin Kacau
Aksi Kamisan kali ini bukan hanya sekadar protes terhadap satu kebijakan, tetapi juga merupakan refleksi dari carut-marutnya kondisi negara kita. Setelah pemilu kemarin, setiap hari kita disuguhi berita yang mengikis optimisme terhadap pemerintahan.
Dari aksi pembredelan musik dan budaya, rekor kasus korupsi yang terus bertambah, anjloknya IHSG, menurunnya daya beli masyarakat, hingga kebijakan-kebijakan nyeleneh dari pemerintah yang selalu menimbulkan masalah.
Gongnya adalah pengesahan RUU TNI yang menandai semakin menguatnya peran militer dalam kehidupan sipil. Jika pada rezim sebelumnya kita melihat Polri semakin dominan dalam birokrasi hingga dijuluki "Partai Coklat" oleh warganet, kini giliran TNI yang mendapat tiket emas mengalahkan supremasi sipil.
BACA JUGA: Lemparan Mercon Picu Ricuh Demo Tolak UU TNI
Masalahnya, sejarah telah berulang kali mengajarkan bahwa keterlibatan militer dalam pemerintahan tidak pernah berujung baik bagi demokrasi. Kita tidak perlu melihat terlalu jauh, cukup dengan menengok ke era Orde Baru.
Belum hilang dari ingatan bahwasannya dwifungsi ABRI sangat jelas menjadi alat utama kontrol negara terhadap rakyat. Gerakan reformasi 1998 berusaha menghapus dominasi militer dari ranah sipil karena kita menyadari betapa berbahayanya militerisasi politik.
Sayang, 27 tahun setelah reformasi justru kita kembali dihadapkan lagi masuknya militer di ranah sipil.
BACA JUGA: Usai RUU TNI, DPR RI Siap Bahas RUU Polri, Kejaksaan, hingga KUHAP
RUU TNI: Justifikasi Kembalinya Dwifungsi ABRI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: