Kamisan Terakhir yang Membangunkan Realitas Kembalinya Orde Baru

Kamisan Terakhir yang Membangunkan Realitas Kembalinya Orde Baru

Substansi dari RUU TNI secara terang-terangan membuka ruang bagi militer untuk kembali menduduki jabatan-jabatan sipil dengan payung hukum yang sah. -Julian Romadhon-Harian Disway

Substansi dari RUU TNI secara terang-terangan membuka ruang bagi militer untuk kembali menduduki jabatan-jabatan sipil dengan payung hukum yang sah. Salah satunya adalah memperbolehkan tentara aktif menduduki posisi di kementerian dan lembaga negara sesuai suka-suka presiden.

Setelah disahkan jelas Indonesia akan kembali ke pola Orde Baru di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan negara tetapi juga mengatur kehidupan sipil.

Yang lebih absurd adalah bagaimana RUU ini dan komentar dari para pejabat sekarang jelas ingin mengistimewakan tentara di atas hukum sipil. Dengan kata lain, militer diberikan hak untuk masuk ke ranah sipil, tetapi jika mereka melakukan kesalahan mereka tetap ingin tunduk pada peradilan militer, bukan peradilan sipil.

BACA JUGA: UU TNI Baru Disahkan, 7 Mahasiswa UI Layangkan Gugatan ke MK 

Ini adalah bentuk impunitas yang jelas-jelas mencederai prinsip keadilan hukum. Jika militer bisa masuk ke ranah sipil tetapi tidak mau tunduk pada hukum sipil, bukankah ini adalah praktik otoritarianisme dalam kemasan baru?

Lebih parahnya, justifikasi yang digunakan TNI perlu masuk ke ranah sipil karena "sipil tidak becus" dalam mengelola negara. Ini adalah argumen yang sama persis dengan yang digunakan oleh Orde Baru untuk memperkuat cengkeramannya di berbagai sektor pemerintahan.

Idealnya, bila sipil dianggap gagal maka seharusnya memperbaiki sistem birokrasi dan meningkatkan kapasitas kepemimpinan sipil, bukan malah memberi ruang lebih bagi militer untuk kembali berkuasa.

BACA JUGA: Demo Jogja Memanggil Ricuh: Gas Air Mata dan Preman Bersenjata di Tengah Aksi Tolak RUU TNI

Fakta di zaman sekarang pun telah menunjukkan bahwa militer yang terlalu banyak mencampuri urusan sipil justru memperburuk keadaan. Kita bisa belajar dari kasus di Myanmar maupun negara-negara di Afrika yang memperbolehkan dominasi militer dalam pemerintahannya berujung pada kemunduran demokrasi serta kekacauan negara yang fatal.

Rezim yang Buta dan Tuli

Yang lebih mengkhawatirkan dari semua ini adalah bagaimana aspirasi publik tampaknya tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan pemerintah. Layaknya ribuan kali aksi kamisan telah digelar tetapi pemerintah selalu buta dan tuli.

Demonstrasi besar-besaran menolak revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan berbagai kebijakan kontroversial lainnya pun selalu diabaikan. Dampak buruk dari regulasi-regulasi tersebut sudah kita rasakan hari ini, tetapi pemerintahan tetap berjalan dengan pola yang sama: semakin nyeleneh untuk memperluas kekuasaan.

BACA JUGA: Meski Ada Revisi UU TNI, Puan Tegaskan TNI Aktif Tetap Dilarang Berbisnis dan Berpolitik

Setelah RUU TNI disahkan, maka kita bisa mengucapkan selamat tinggal pada amanat reformasi yang seharusnya menjadi arah kemajuan negara. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemerintah saat ini lebih tertarik untuk mengamankan posisi kekuasaannya daripada mendengarkan suara rakyat.

Ketika negara semakin menunjukkan kecenderungan otoritarian, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting. Sayang, dalam situasi seperti ini, represi terhadap masyarakat sipil juga dikhawatirkan semakin meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: