Catatan Awal Tahun 2025: Swasembada Energi, Dari Mana Dimulai?

Catatan Awal Tahun 2025: Swasembada Energi, Dari Mana Dimulai?

ILUSTRASI Catatan Awal Tahun 2025: Swasembada Energi, Dari Mana Dimulai?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Jadi, yang menjadi pekerjaan rumah yang paling mendesak bagi pemerintahan Prabowo pada awal 2025 guna merealisasikan komitmen politiknya tentang swasembada energi di masa pemerintahannya adalah sebagai berikut.

Selesaikan/tuntaskan revisi Undang-Undang Migas (UU Migas) yang telah lebih dari 12 tahun mangkrak dan selesaikan/tuntaskan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (UU EBET). Sebab, kedua undang-undang tersebut memuat perlindungan dan kepastian hukum, perbaikan fiskal,  serta mitigasi persoalan sosial dan lingkungan. 

BACA JUGA:Kejar Misi Swasembada Energi,Prabowo Ingin Subsidi Sasar Perorangan

Mengapa Undang-undang Migas dan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan itu sangat penting? Sebab, secara konstitusional, undang-undang itu adalah wujud amanah kedaulatan rakyat yang tertulis. 

Secara konstitusional pula, pemerintah wajib menjalankan undang-undang. Secara ketatanegaraan, semua turunan kebijakan, aturan penatakelolaan dalam bentuk PP, perpres, permen, hingga perda-perda harus tunduk pada undang-undang. 

Dengan demikian, kedua undang-undang itu harus dijadikan sarana yang tegas, jelas, dan bisa dipertanggungjawabkan untuk mencapai swasembada energi.  

Lima tahun masa pemerintahan itu tidak lama. Apabila pemerintahan Prabowo terlalu lambat menyelesaikan UU Migas dan UU EBET, sudah dapat dipastikan swasembada energi makin sulit dicapai selama masa jabatannya. 

Contoh konkretnya adalah soal bagaimana bisa memproduksi (unlocking) cadangan-cadangan migas yang berada di kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi? 

Bagaimana penggunaan transmisi dan distribusi infrastruktur dan jaringan listrik eksisting untuk mengalirkan listrik-listrik dari pembangkit energi terbarukan? Bagaimana pemanfaatan energi nuklir? 

Bagaimana program dan konsekuensi kebijakan untuk menyediakan bahan bakar nabati (biofuel)? Bagaimana insentif fiskal bagi pengembangan energi hidrogen? 

Yang tak kalah penting adalah menetapkan aturan yang mujarab untuk memangkas perizinan dan birokrasinya yang telah menjadi penyakit menahun dan turun-temurun. Misalnya, dengan menghukum berat pejabat yang sengaja menghambat/mempersulit perizinan? 

Kalau tidak, komitmen swasembada energi hanya akan jadi omon-omon belaka. (*)


*) Didik Sasono Setyadi adalah ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: