Catatan Awal Tahun 2025: Swasembada Energi, Dari Mana Dimulai?
ILUSTRASI Catatan Awal Tahun 2025: Swasembada Energi, Dari Mana Dimulai?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Pertama, keberadaan/ketersediaan sumber energi primer.
Kedua, ketersediaan enabler untuk mengubah sumber energi primer menjadi energi siap pakai yang terjangkau secara ekonomis.
Untuk ketersediaan energi primer, Indonesia termasuk negara yang memiliki banyak sumber energi primer dari yang tidak terbarukan (sumber energi fosil) hingga sumber energi terbarukan (sumber energi nonfosil).
BACA JUGA:Presiden Prabowo Tinjau Tambak Ikan di Karawang, Dorong Sektor Perikanan Wujudkan Swasembada Pangan
Masalahnya, bagaimana Indonesia menyediakan enabler agar sumber-sumber energi tersebut bisa tersedia dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Enabler, terutama, adalah investasi, teknologi, dan tata kelola (hukum, fiskal dan sosial serta lingkungan). Dari sekian banyak enabler yang disebut, tulisan ini hanya akan fokus pada tata kelola.
Tata kelola adalah proses yang diberlakukan suatu organisasi atau masyarakat untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam rangka mencapai tujuan yang dikehendaki.
Tata kelola juga dapat diartikan sebagai sistem rangkaian suatu proses, kebiasaan, kebijakan, aturan (pelembagaan) dan kelembagaan yang memengaruhi pengelolaan suatu organisasi.
Tata kelola juga merupakan bagian dari proses manajemen administrasi dalam suatu kepemimpinan.
Dalam konteks negara, tata kelola meliputi kegiatan semua otoritas politik dan administratif untuk memerintah negara, termasuk suatu proses formulasi dan implementasi peraturan dan kebijakan melalui interaksi antara negara, masyarakat sipil, dan masyarakat ekonomi.
Adapun tata kelola yang baik adalah tata kelola yang mengutamakan keadilan, akuntabilitas, dan kinerja yang bertanggung jawab. Bagaimana tata kelola itu bisa diwujudkan/dijalankan secara konsisten?
BACA JUGA:Dukung Kebijakan Ekonomi Prabowo, BRI Fokus pada Hilirisasi dan Swasembada Pangan
Jawabannya, secara normatif, sangat sederhana. Yakni, apakah tata kelola itu sudah dituangkan dalam produk politik yang diakui sebagai suatu yang harus dilaksanakan dan memiliki kekuatan mengikat?
Bila tidak dituangkan dalam produk politik yang sah, belum layak disebut sebagai tata kelola (apalagi tata kelola yang baik/good governance).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: