Kaleidoskop Berita Bencana Indonesia 2024: Kurang Pendalaman Materi, Bergantung pada Narasumber Ahli

Kaleidoskop Berita Bencana Indonesia 2024: Kurang Pendalaman Materi, Bergantung pada Narasumber Ahli

ILUSTRASI Kaleidoskop Berita Bencana Indonesia 2024: Kurang Pendalaman Materi, Bergantung pada Narasumber Ahli.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Antisipasi Potensi Bencana Akibat Cuaca Ekstrem, BNPB Lakukan Operasi Modifikasi Cuaca di Jawa Barat dan Jawa Tengah

CIRI BERITA BENCANA DI INDONESIA

Penulis mengidentifikasi setidaknya enam ciri-ciri utama berita bencana di Indonesia. 

Pertama, baru diberitakan kalau sudah kejadian. Wartawan cenderung mengutamakan aspek peristiwa kebencanaan yang terjadi dengan semua dampaknya. Seolah-olah, kawasan rawan bencana tidak memiliki nilai berita jika memang bencananya belum terjadi. 

Hal itu terkait dengan ciri kedua, yaitu minimnya konten early warning (peringatan dini) dalam pemberitaan. Sejatinya konten peringatan dini tersebut sangat dibutuhkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan atas potensi bencana yang terjadi di sekitar mereka. 

BACA JUGA:Pj Gubernur Ingatkan Warga Jatim Berhati-Hati Saat Liburan Akhir Tahun: Cuaca Ekstrem Rawan Bencana Hidrometeorologis Basah

BACA JUGA:BNPB dan BMKG Gelar Operasi Modifikasi Cuaca Antisipasi Bencana Hidrometeorologi Basah Di Jawa Barat

Ketiga, kurangnya pendalaman materi. Peristiwa kebencanaan yang diberitakan berbagai media massa di Indonesia relatif miskin kelengkapan observasi, people trail, paper trail, electronic trail, maupun internet trail dalam berita. 

Itu berelasi dengan kinerja wartawan yang tampaknya enggan memperdalam materi pemberitaan melalui pengembangan teknik reportase. 

Hal tersebut berkaitan dengan ciri keempat, yakni bergantung pada keterangan pakar atau ahli lingkungan. Berita yang disajikan sering kali hanya bersumber pada keterangan pakar atau ahli lingkungan. 

Berita yang dihasilkan hanya menjadi tadah pernyataan pakar tanpa ada upaya untuk mengontekstualisasikan dengan isu yang tengah digali dan mengaitkannya dengan berbagai sumber berita alternatif.

Kelima, kurangnya referensi ilmiah tentang kebencanaan. Hal itu menunjukkan keengganan wartawan untuk memanfaatkan literatur ilmiah dalam pemberitaan. 

Seharusnya wartawan mampu merelasikan fenomena bencana dengan beragam hasil kajian ilmiah yang terkait sehingga berita yang dihasilkan bisa lebih mendalam dan informatif. 

Keenam, kurangnya solusi atau jalan keluar atas masalah bencana. Berita bencana lebih menjual kesedihan (didominasi nilai berita human interest) dari korban bencana daripada kisah inspiratif korban yang mampu bertahan.

AGENDA KE DEPAN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: