Perempuan dan Lebaran: Ironi Beban Ganda

Perempuan dan Lebaran: Ironi Beban Ganda

Melibatkan anak saat memasak adalah salah satu hal yang sering terjadi kepada seorang ibu rumah tangga yang memiliki peran ganda.-Shutterstock-Shutterstock

HARIAN DISWAY - Perayaan Hari Raya Idulfitri (Lebaran) merupakan momen puncak perayaan kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Suasana menjelang Lebaran di Indonesia selalu semarak, mulai dari tradisi mudik, belanja kebutuhan hari raya, berbagi rizki melalui THR maupun angpao untuk anak-anak hingga menyiapkan hidangan khas. 

Di balik kemeriahan tersebut, ada ironi terkait peran perempuan. Dalam lelucon pahit yang jamak beredar bahwa ketika momen Ramadan dan Lebaran tiba, “ibu adalah manusia paling sibuk”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa perempuan menanggung beban yang berlipat ganda selama Ramadan dan menjelang Lebaran. 


Peran ganda perempuan disaat momen lebaran tiba, menjadi manusia paling sibuk.-konde-konde.co

Beban Domestik adalah Tugas Perempuan

Selain itu, riset HLB global menemukan pengeluaran pangan rumah tangga Muslim naik 50-100 persen selama Ramadan. Dalam konteks Indonesia, terlihat dari maraknya belanja bahan makanan, takjil, hingga kebutuhan buka bersama. Sialnya, lagi dan lagi yang biasa mengelola belanja tersebut adalah perempuan, sebagai manajer rumah tangga, yang harus cermat mengatur anggaran dan belanja. 

BACA JUGA: Kiprah Aisyiyah dalam Memajukan Pendidikan adalah Bukti Nyata Gerakan Perempuan

Lonjakan konsumsi tersebut berarti lebih banyak aktivitas belanja dan memasak yang umumnya dikoordinasi oleh perempuan. Dengan kata lain, momentum Ramadan menciptakan “pekerjaan lembur” tambahan di ranah domestik yang tak berbayar, dan perempuan yang paling terdampak.

Sehingga semestinya hakikat Ramadan menjadi waktu bersama untuk meningkatkan ibadah spiritual, tetapi banyak perempuan justru lebih sibuk berperan “melayani” daripada beribadah. Beban domestik tersebut semakin memuncak menjelang Lebaran. Persiapan hari raya seperti mengatur keuangan untuk kebutuhan keluarga, membersihkan dan mendekorasi rumah, membuat kue dan menyiapkan menu khusus Lebaran, hingga menyiapkan pakaian baru keluarga biasanya juga dilimpahkan pada perempuan.

Belum lagi jika keluarga akan mudik, jamaknya perempuan juga yang mengatur logistik perjalanan, mulai dari tiket transportasi hingga mengepak barang-barang. Semuanya seolah hanya menjadi “tugas perempuan”, sehingga tidak heran jika banyak ibu mengaku kelelahan fisik dan mental.

BACA JUGA: Hari Pahlawan, Perempuan Aceh, dan Sejarah yang Androgynous

Sebagaimana survei UN Women pada masa pandemi (yang situasinya memiliki kemiripan berupa beban domestik tinggi) menemukan 57 persen perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan lebih tinggi dibanding 48 persen pada laki-laki. Akibat bertambahnya beban kerja rumah tangga dan pengasuhan yang dipikul perempuan selama krisis.

Data tersebut sangat relevan dalam menggambarkan bahwa dalam situasi tekanan (seperti pandemi maupun momentum Ramadhan dan Lebaran), perempuan menanggung risiko kelelahan dan stres lebih besar karena peran domestik belum terbagi secara adil.

Lebih jauh lagi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat lebih dari 60 persen pekerja informal perempuan di Indonesia menghabiskan lebih dari 10 jam per minggu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau pengasuhan. Artinya, selain kesibukan mencari nafkah, mayoritas perempuan juga masih dibebani “shift kedua” di ranah domestik.

BACA JUGA: Kepuasan Masyarakat Terhadap Angkutan Lebaran Capai 90 Persen

Survei lain menunjukkan bahwa secara umum perempuan Indonesia menghabiskan rata-rata 3,1 jam per hari untuk pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki hanya sekitar 2,5 jam. Ada selisih hampir 24 persen yang mengindikasikan bahwa ketimpangan pembagian tugas domestik itu masih nyata. Terlihat nyata di antaranya saat momen Ramadan hingga Lebaran.

Menghadirkan Keadilan Gender di Momen Lebaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: