Pagar Laut Tangerang dan Lemahnya Tangan Besi Kekuasaan: Negara yang Tertidur di Tengah Ombak
ILUSTRASI Pagar Laut Tangerang.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Itu bisa pula permainan para pemilik kuasa, yang memahami betul bahwa hukum bisa dilipat, bahwa ruang publik bisa diubah menjadi lahan pribadi dengan strategi yang halus namun mematikan.
BACA JUGA:Pagar Laut Tangerang, Bagaimana Cara Membangunnya?
BACA JUGA:Nusron Wahid Sebut Pagar Laut Tangerang Bukan Kewenangan Kementerian ATR/BPN
DASAR-DASAR HUKUM YANG DILANGGAR
Dalam perspektif hukum, pagar laut Tangerang jelas melanggar sejumlah ketentuan yang mengatur pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, setiap kegiatan yang memanfaatkan ruang laut harus mendapat izin dari pemerintah dan tidak boleh mengganggu akses publik terhadap laut.
Pagar yang berdiri di atas perairan itu jelas menghalangi akses nelayan dan masyarakat pesisir yang selama ini menggantungkan hidup pada sumber daya laut.
Selain itu, Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga mengatur bahwa setiap kegiatan di wilayah pesisir harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan keadilan sosial.
Namun, dalam kasus pagar laut ini, tidak ada jaminan kelestarian lingkungan atau keadilan sosial bagi masyarakat pesisir yang terdampak.
Bahkan, kegiatan reklamasi yang mungkin terjadi akibat adanya pagar laut tersebut bisa saja melanggar Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mensyaratkan setiap proyek reklamasi harus melalui kajian dampak lingkungan yang komprehensif serta mendapat izin resmi dari pemerintah.
Pagar laut yang tanpa izin resmi itu menambah panjang daftar pelanggaran terhadap hukum yang seharusnya menjadi pagar bagi tindakan yang merugikan masyarakat.
NEGARA YANG KALAH DI WILAYAHNYA SENDIRI
Kita sering mendengar bahwa ”negara tidak boleh kalah!” Namun, dalam kasus pagar laut, negara sudah lama kalah sebelum pertempuran dimulai.
Lihatlah bagaimana sertifikat hak guna bangunan (HGB) dan serifikat hak milik (SHM) bisa terbit di wilayah yang bahkan belum sepenuhnya menjadi daratan. Apakah itu keajaiban birokrasi? Ataukah itu bukti bahwa ada tangan-tangan tak terlihat yang bekerja lebih cepat dari hukum?
Yang lebih ironis, pembongkaran pagar itu pun baru dilakukan setelah presiden turun tangan, seolah-olah di negeri ini, hukum hanya berjalan jika perintah datang dari puncak kekuasaan.
Bagaimana dengan aparat yang seharusnya lebih dulu bertindak? Bagaimana dengan kementerian yang seharusnya menjaga laut dengan segala perangkatnya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: