Trump 2.0 dan Hubungan Indonesia-AS Pasca Keanggotaan BRICS

Trump 2.0 dan Hubungan Indonesia-AS Pasca Keanggotaan BRICS

Logo BRICS.--


Yaries Mahardika Putro, Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Surabaya. --

Pada tanggal 20 Januari 2025, Donald John Trump resmi dilantik kembali sebagai Presiden Amerika Serikat. Itu menandai dimulainya masa jabatan kedua dalam kepemimpinannya. “Trump 2.0” membawa sejumlah kebijakan strategis yang berpotensi mengubah dinamika hubungan internasional, termasuk hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat. 

Dalam konteks ini, keanggotaan Indonesia dalam kelompok ekonomi BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi hubungan kedua Negara. Khususnya dalam aspek perdagangan dan ekonomi. 

Prinsip  “America First” dan Tantangan bagi Indonesia

Pelantikan kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat diwarnai dengan penegasan ulang terhadap prinsip “America First”, yang menjadi landasan kebijakan luar negeri dan ekonomi AS. Prinsip ini secara eksplisit menempatkan kepentingan nasional AS di atas segala prioritas lain dalam hubungan internasionalnya. Pendekatan yang proteksionis ini berimplikasi langsung pada bagaimana Amerika Serikat berinteraksi dengan negara-negara lain, termasuk anggota BRICS. Dalam situasi ini, keanggotaan Indonesia dalam BRICS berpotensi memengaruhi hubungan diplomatik dengan AS, khususnya dalam hal ekonomi dan perdagangan.

Ancaman Tarif Tinggi dari Amerika Serikat

Salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi Indonesia adalah kebijakan tarif tinggi yang diusulkan oleh pemerintahan Trump. Pada 2 Desember 2024, Trump secara terbuka mengancam akan memberlakukan tarif hingga 100 persen terhadap produk-produk yang diimpor dari negara-negara anggota BRICS jika mereka tidak memenuhi syarat-syarat perdagangan tertentu yang ditetapkan oleh AS. Kebijakan ini mencerminkan langkah proteksionis yang diambil oleh pemerintahan Trump untuk melindungi industri dalam negerinya dari persaingan dengan negara-negara berkembang. Sebagai anggota BRICS, Indonesia harus siap menghadapi konsekuensi kebijakan ini yang berpotensi merugikan beberapa sektor ekonomi strategis, khususnya ekspor produk manufaktur, tekstil, dan komoditas agrikultur.

Keanggotaan BRICS sebagai Tantangan dan Peluang

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS memiliki dua sisi yang saling melengkapi. Di satu sisi, BRICS memberikan peluang untuk memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara-negara anggota lainnya, seperti Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. Keanggotaan ini memungkinkan Indonesia untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pasar ekonomi besar lainnya dan memperluas jaringan perdagangan internasional. Di sisi lain, BRICS juga memposisikan Indonesia sebagai salah satu target dari kebijakan proteksionis AS, mengingat AS sering menganggap kelompok ini sebagai pesaing dalam geopolitik ekonomi global.

Untuk menghadapi situasi ini, Indonesia harus memanfaatkan platform BRICS untuk mengonsolidasikan posisi tawarnya di panggung global. Melalui aliansi strategis dengan anggota BRICS lainnya, Indonesia dapat bekerja sama untuk mengurangi tekanan ekonomi dari AS dan mencari alternatif pasar baru bagi produk ekspor.

Strategi Menjaga Hubungan Perdagangan dengan AS

Dalam menghadapi tantangan kebijakan proteksionis AS, pemerintah Indonesia perlu mengadopsi pendekatan yang terencana dan proaktif. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil meliputi:

1. Untuk menghadapi ancaman tarif tinggi, Indonesia perlu meningkatkan daya saing di sektor-sektor utama seperti agrikultur, manufaktur, teknologi, dan energi terbarukan. Pemerintah dapat mendorong inovasi melalui kebijakan insentif pajak, investasi dalam teknologi, serta peningkatan kualitas tenaga kerja. Dengan produk yang lebih kompetitif, Indonesia dapat mengurangi risiko menjadi target tarif tinggi dari AS.

2. Mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS menjadi langkah strategis yang harus diprioritaskan. Pemerintah Indonesia perlu memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, Afrika, dan Eropa. Diversifikasi pasar ini akan meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap perubahan kebijakan perdagangan global, termasuk langkah proteksionis AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: