Parpolisasi PWI

Parpolisasi PWI

ILUSTRASI Parpolisasi PWI.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

HARI PERS NASIONAL (HPN) diperingati setiap 9 Februari, sekaligus memperingati hari lahir PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tahun ini HPN diadakan di dua tempat, yakni Pekanbaru, Riau, dan Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Satu organisasi, dua ketua dan dua kepengurusan.

Hari-hari ini terjadi krisis organisasi karena munculnya tuduhan korupsi dalam pengelolaan dana bantuan pemerintah melalui Kementerian BUMN. Dewan kehormatan memecat Henry C. Bangun dari keanggotaan PWI dan secara otomatis kehilangan jabatan sebagai ketua umum.

Buntut dari pemecatan kemudian diadakan konferensi luar biasa (KLB) di Jakarta, Agustus 2024. Henry tidak terima dan tidak mengakui kepengurusan baru dan tetap mengeklaim sebagai ketua. Henry balik memecat Sasongko Tedjo, ketua dewan kehormatan, dan Zulmansyah Sekedang, ketua hasil KLB.

BACA JUGA:Pleno Perdana PWI Pusat Hasil KLB: HPN 2025 Digelar di Riau

BACA JUGA:Inilah Struktur Pengurus PWI Pusat Hasil KLB

Konflik mencuat karena Henry dianggap tidak bisa mempertanggungjawabkan sejumlah uang. Dana yang terlibat tergolong besar, yaitu Rp 6 miliar, dan dari jumlah itu diduga ada penyelewengan Rp 2,8 miliar, atau setidaknya penggunaan dana tersebut mencurigakan. 

Dana itu merupakan bantuan dari Kementerian BUMN. Dalam prosesnya, dikatakan ada cash back kepada beberapa oknum. Setelah diselidiki, ternyata cash back itu diterima sejumlah orang dekat Henry di kepengurusan PWI. HCB, inisial nama Henry, kemudian dipelesetkan menjadi ”Henry Cash Back”.

Muncul pertanyaan, bagaimana PWI bisa independen jika menerima uang dari pemerintah untuk membiayai programnya? Dana itu dipakai untuk membiayai program uji kompetensi wartawan (UKW) yang menjadi program utama PWI. 

BACA JUGA:Rapat Pleno PWI Pusat Tunjuk Zulmansyah Sekedang Sebagai Plt Ketua Umum

BACA JUGA:Hadiri Talkshow HPN 2024, Subandi Minta PWI Sidoarjo Kawal Pembangunan

Tujuannya adalah  menjadikan anggota PWI sebagai wartawan yang profesional. Salah satu kriterianya adalah mampu menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan. Bagaimana bisa kritis terhadap kekuasaan kalau sumber anggaran berasal dari pemerintah?

Kalau memakai analogi sertifikasi halal MUI (Majelis Ulama Indonesia), program sertifikasi UKW itu sulit mendapatkan sertifikasi halal. Sebab, dana yang dipakai masuk kategori syubhat.

Para wartawan dan pimpinan PWI sudah menemukan berbagai argumen untuk menjustifikasi penerimaan dana dari pemerintah itu. Intinya, bagi PWI, menerima dana pemerintah untuk membiayai berbagai program hukumnya halal.

BACA JUGA:Sukses Jaga Stabilitas Transisi Pemimpin di Jatim, Pj Gubernur Jatim Diganjar PWI Jatim Award 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: