Parpolisasi PWI

Parpolisasi PWI

ILUSTRASI Parpolisasi PWI.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Bak Srikandi Diplomasi, Menlu Retno Bawa Pulang Medali Emas Hari Pers Nasional dari PWI

Tentu hal tersebut debatable. Posisi PWI yang dekat dengan pemerintah sering dikritisi –atau membuat iri– organisasi kewartawanan lain seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen) yang lebih sering menempatkan diri sebagai opisisi terhadap pemerintah. Dari kacamata PWI sendiri, muncul sinisme terhadap AJI yang dianggap sok kritis.

Konflik di PWI kali ini kelihatannya akan berlarut-larut karena terjadi polarisasi yang tajam antara pro dan kontra. Masing-masing pihak punya interpretasi sendiri terhadap statuta organisasi. Masing-masing pihak saling bersikeras bahwa interpretasinya paling benar. 

Kepengurusan Henry Bangun baru jalan setahun, tapi sudah digoyang persoalan korupsi. Bagi wartawan, urusan uang sangatlah sensitif. Kode etik jurnalistik tegas menyebutkan, penerimaan uang untuk menulis atau tidak menulis berita adalah haram. 

BACA JUGA:Berkunjung ke PWI, Prabowo Sebut Kebebasan Pers Sebagai Pilar Demokrasi

BACA JUGA:Diundang PWI Sebagai Capres, Prabowo Lepas Pin Dinas Kemhan

Tapi, dalam praktiknya, banyak wartawan yang punya interpretasi longgar terhadap aturan etik itu. Sangat banyak yang longgar dan permisif dalam menghadapi persoalan uang. 

Media-media konvensional terkemuka seperti Kompas, Tempo, dan beberapa media lain mempunyai standar tinggi dalam masalah penerimaan uang. Namun, banyak organisasi media yang longgar terhadap aturan itu.

Sebagai alumnus Kompas, Henry seharusnya punya standar tinggi terhadap aturan penerimaan uang. Namun, di akhir karier kewartawanan aktif, Henry di-BKO ke anak perusahaan Kompas, Warta Kota

Di lingkungan baru itu, bisa jadi standar idealnya menjadi turun. Ketika kemudian Henry masuk ekosistem PWI dan memilih pengurus yang berstandar etik rendah, ia menjadi longgar dan permisif dalam pengelolaan keuangan.

Yang menjadi sorotan dalam pengelolaan dana hibah BUMN itu adalah adanya komisi yang harus dibayarkan kepada pengurus PWI yang dianggap berjasa mendapatkan hibah dari BUMN tersebut. Mungkin komisi itu dianggap sebagai uang terima kasih atau dianggap sebagai komisi iklan yang lazim berlaku di berbagai perusahaan media.

Di sanalah persoalannya. Dalam aturan organisasi media, seorang wartawan tidak diperkenankan mencari iklan dan mendapatkan komisi dari iklan itu. Hal tersebut menjadi konsekuensi dari firewall theory, ’teori tembok api’, yang memisahkan antara redaksi dan bisnis. Dua divisi yang sama-sama penting itu dipisahkan tembok api yang tidak boleh diterobos.

Idealisme semacam itu sudah banyak ditinggalkan. Persaingan media yang sangat keras, cut throat competition, ’persaingan gorok leher’, menjadikan organisasi media bersikap pragmatis dengan mengizinkan wartawan mencari iklan dan mendapatkan komisi darinya. Praktik semacam itu menular di lingkungan PWI sebagai induk organisasi wartawan.

Gejala pragmatisme dan permisivisme dalam persoalan uang terlihat jelas dalam Kongres PWI 2023 di Bandung yang memenangkan Henry Bangun. Persaingan antarcalon ketua umum ketat dan banyak uang berseliweran di arena kongres. 

Salah seorang calon jauh-jauh hari sebelum kongres berkeliling ke seluruh Indonesia menemui pimpinan PWI provinsi dan kabarnya menawarkan iming-iming finansial dengan berbagai modus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: