Refleksi Hari Perempuan Internasional: Dari Latar ke Layar

Refleksi Hari Perempuan Internasional: Dari Latar ke Layar

ILUSTRASI Refleksi Hari Perempuan Internasional: Dari Latar ke Layar.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Seperti pada batik dan tenun. Kain tenun Sumba, ulos Sumatera Utara, atau batik Pekalongan dan Lasem merupakan warisan budaya yang sebagian besar dibuat perempuan. Meski demikian, perajin-perajin itu tidak dikenal namanya, seolah hanya menjadi latar dalam sejarah seni tekstil Indonesia. 

Sejarah batik yang panjang sejak masa lalu hingga saat ini menjadi salah satu warisan dunia, hanya merekam nama-nama perajin itu di balik tembok-tembok bengkel tempat mereka berkarya. Seolah hanya menjadi latar dalam sejarah seni budaya Indonesia.

DARI LATAR KE LAYAR

Ketimpangan itu bukan sekadar narasi masa lalu, tetapi masih terus berlanjut hingga hari ini. Keterbatasan ruang pamer, kurangnya dukungan finansial, dan minimnya pengarsipan yang mencantumkan nama mereka dalam sejarah seni nasional menjadi kendala yang sistemik. Namun, refleksi HPI itu seharusnya tidak hanya terbatas pada dunia seni. 

”Dari latar ke layar” bukan sekadar metafora untuk posisi perempuan dalam kesenian, tetapi juga cermin dari kondisi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. 

Begitu banyak perempuan yang selama ini menjadi penggerak utama dalam keluarga, masyarakat, bahkan ekonomi bangsa, tetapi mereka tetap berada di latar, tersembunyi di balik narasi besar yang lebih sering dikendalikan laki-laki. 

Tak salah dengan ungkapan dari Maya Angelou, seorang penulis, penyair, dan aktivis hak sipil Amerika Serikat. Dia mengatakan bahwa there is no greater agony than bearing an untold story inside you (tidak ada penderitaan yang lebih besar daripada menyimpan kisah yang tak pernah diceritakan).

HPI adalah momentum untuk memastikan bahwa kisah-kisah perempuan tidak lagi dibungkam, bahwa suara mereka tidak hanya didengar, tetapi juga diperhitungkan. Ini adalah saatnya untuk menegaskan bahwa perempuan berhak atas panggung mereka sendiri. 

Hari-hari peringatan seperti itu akan selalu relevan, tetapi tidak boleh berhenti pada sekadar seremoni tahunan. Perayaan tanpa perubahan hanyalah omong kosong. 

Diperlukan langkah konkret yang membawa perempuan dari bayang-bayang ke cahaya pengakuan. Maka, terjadilah seperti yang dikatakan Kartini, ”Habis Gelap, Terbitlah Terang”. (*)

*) Aniendya Christianna adalah dosen desain komunikasi visual, Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif, Petra Christian University.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: