Refleksi Hari Perempuan Internasional: Dari Latar ke Layar

ILUSTRASI Refleksi Hari Perempuan Internasional: Dari Latar ke Layar.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sejarah HPI berakar pada perjuangan hak-hak perempuan dalam dunia kerja, pendidikan, dan politik. Pada 1908, ribuan perempuan turun ke jalan di New York. Mereka menuntut jam kerja lebih pendek, upah layak, dan hak pilih politik.
Momentum itu menginspirasi peringatan HPI pertama pada 1911 di beberapa negara Eropa, sebagai wujud perlawanan terhadap sistem yang mengekang perempuan dalam berbagai sektor.
Perjuangan belum usai. Pada 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional untuk memperkuat advokasi hak-hak perempuan dalam kebijakan dan masyarakat.
Meski telah diakui secara global, perjalanan menuju kesetaraan masih jauh dari selesai. Angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, kesenjangan ekonomi tetap menjadi masalah, dan kematian ibu saat melahirkan masih mengkhawatirkan akibat akses layanan kesehatan yang belum merata,
Pun, keterbatasan ruang berekspresi masih menjadi tantangan bagi perempuan di berbagai lapisan sosial dan partisipasi perempuan dalam kepemimpinan masih menghadapi banyak hambatan, baik di sektor publik maupun swasta.
Diperburuk dengan akses pendidikan yang terbatas bagi anak perempuan di daerah tertinggal serta maraknya pernikahan usia dini yang menghambat perkembangan generasi muda.
Kebijakan yang berpihak kepada perempuan sering kali masih wacana tanpa implementasi nyata, sementara budaya patriarki yang mengakar tetap menjadi penghalang bagi perempuan untuk memperoleh haknya secara penuh.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat bahwa perempuan masih menerima upah sekitar 23 persen lebih rendah daripada laki-laki dalam pekerjaan dengan posisi yang setara. Selain itu, hanya 20 persen kursi parlemen yang diduduki perempuan.
Hal itu mencerminkan keterbatasan representasi dan kontribusi pikiran perempuan dalam politik. Tanpa aksi nyata, peringatan itu berisiko menjadi sekadar ”tokenisme” –pengakuan simbolis tanpa dampak substantif.
Idealnya, HPI bukan hanya perayaan, melainkan juga panggilan untuk terus memperjuangkan hak-hak yang seharusnya sudah lama menjadi milik perempuan.
Lebih dari sekadar simbol, HPI harus menjadi momentum untuk memastikan bahwa suara perempuan tidak hanya didengar, tetapi juga diperhitungkan dalam setiap keputusan yang membentuk masa depan dunia.
PEREMPUAN DALAM SENI DAN BUDAYA
Ketimpangan yang dialami perempuan tak hanya terjadi dalam sektor ekonomi dan politik, tetapi juga menyusup sampai dunia seni dan budaya. Sejak lama, perempuan telah berkontribusi dalam kemajuan seni dan kebudayaan, tetapi pengakuan yang mereka terima sering kali tidak setara dengan laki-laki.
Kanon sejarah seni, baik dunia maupun Indonesia, cenderung menilai karya-karya seni perempuan ”sekunder” daripada karya laki-laki.
Di Indonesia, ada nama-nama seperti Emiria Soenassa yang berani menyuarakan keresahan lewat seni lukisnya di era kolonial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: