Kejagung Panggil Lima Saksi Baru Kasus Pertamina

Kepala Pusat Penerangan Hukum Harli Siregar-Kejagung RI-
HARIAN DISWAY - Penyidik Jampidsus kembali melakukan pemanggilan terhadap saksi baru pada kasus korupsi kilang minyak PT Pertamina (Persero) Sub Holding Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018-2023 pada Kamis, 20 Maret 2025.
Saksi baru yang dipanggil oleh Kejagung terdiri dari lima orang yaitu dari pihak swasta, pegawai Pertamina, dan satu dari Kementerian ESDM.
Saksi-saksi tersebut adalah MG Direktur Pembinaan Hulu Migas pada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2018-2022, AW Managing Director Pertamina International Marketing & Distribution Pta. Ltd (PIMD).
AS Manager Crude and Dirty Petroleum Commercial PT Pertamina International Shipping, RCT VP Retail Fuel Marketing PT Pertamina (Persero), terakhir AW Direktur Jenggala Maritim Nusantara.
BACA JUGA:Delapan Saksi Kasus Baru Korupsi Minyak Mentah Pertamina Dipanggil Kejagung
BACA JUGA:Kejagung Periksa Tiga Saksi Baru Kasus Korupsi Pertamina, Satu Berasal Dari Kementerian ESDM
"Pemeriksaan pada lima saksi itu dilakukan untuk penyelidikan terkait perkara korupsi minyak mentah PT Pertamina Sub Holding KKKS periode 2018-2023 atas nama tersangka YF dkk," ujar Kepuspenkum Harli Siregar pada Kamis malam, 20 Maret 2025.
Penyelidikan pada saksi-saksi juga untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan perkara yang dimaksud sebelum kasus ini diserahkan ke pengadilan.
Kasus ini terjadi pada tahun 2018-2023 ketika ada ketentuan pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 tahun 2018.
Akan tetapi tersangka RS, SDS, dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.
Selain itu RS melakukan pengadaan produk kilang dengan mendatangkan BBM jenis RON 90 (Pertalite) kemudian melakukan blending di depo untuk menjadi RON 92 (Pertamax) dan itu jelas tidak diperbolehkan.
Akibatnya negara megalami kerugian sebesar Rp 197,3 triliun di mana ada lima komponen kerugian di dalamnya.
Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun, impor minyak mentah melalui broker Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker Rp 9 triliun, pemberian kompensasi sekitar Rp 126 triliun, serta kerugian pemberian subsidi sebanyak Rp 21 triliun. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: