Halal Bihalal Tradisi Lebaran dengan Sejarah dan Maknanya

Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia sebagai momen silaturahmi, saling memaafkan, dan mempererat kebersamaan setelah Lebaran.-ibnjaafar-Getty Images Signature
HARIAN DISWAY - Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang dilakukan setelah Idulfitri sebagai bentuk silaturahmi dan saling memaafkan.
Tradisi ini tidak ditemukan di negara Muslim lainnya dan memiliki makna mendalam dalam budaya serta kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Selain sebagai ajang untuk mempererat hubungan keluarga, sahabat, dan kolega, halal bihalal juga memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri.
BACA JUGA: Sejarah, Tradisi, dan Makna Lebaran di Indonesia
Asal Usul Halal Bihalal
Halal bihalal yang telah menjadi tradisi setiap Lebaran memiliki sejarah panjang dan makna mendalam dalam budaya Indonesia.-Garakta Studio-
Dikutip dari situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, terdapat dua versi mengenai asal-usul halal bihalal.
1. Halal Bihalal dari Istilah Pedagang Martabak (1930-an)
Versi pertama menyebutkan bahwa istilah halal bihalal pertama kali digunakan oleh pedagang martabak asal India yang berjualan di kawasan Taman Sriwedari, Solo, sekitar tahun 1935–1936. Martabak pada saat itu adalah makanan baru bagi masyarakat Indonesia.
Untuk menarik perhatian pembeli, pedagang martabak tersebut mempromosikan dagangannya dengan kalimat "Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!". Istilah ini kemudian mulai dikenal luas di kalangan masyarakat Solo.
BACA JUGA: 5 Negara di Dunia yang Memiliki Tradisi Mudik
Seiring waktu, masyarakat menggunakan istilah halal bihalal untuk menyebut silaturahmi yang dilakukan saat Lebaran, terutama ketika mengunjungi keluarga atau kerabat di Taman Sriwedari. Lama-kelamaan, istilah ini semakin populer dan menjadi bagian dari budaya Lebaran di Indonesia.
2. Halal Bihalal Sebagai Cara Mempersatukan Tokoh Politik (1948)
Versi kedua menyebutkan bahwa konsep halal bihalal diperkenalkan oleh ulama besar dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), yaitu KH. Abdul Wahab Hasbullah, pada tahun 1948.
Pada saat itu, Indonesia baru saja merdeka dan kondisi politik masih belum stabil. Banyak tokoh politik dan pemimpin nasional yang saling berselisih akibat perbedaan kepentingan.
BACA JUGA: 8 Cara Mengucapkan Selamat Idulfitri dalam Berbagai Bahasa dan Tradisinya di Berbagai Negara
Presiden Soekarno yang khawatir dengan situasi tersebut kemudian meminta nasihat dari KH. Wahab tentang cara untuk menyatukan para tokoh bangsa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: berbagai sumber