Kejagung Kembali Periksa Tujuh Saksi Kasus Pertamina

Kejagung Kembali Periksa Tujuh Saksi Kasus Pertamina

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Republik Indonesia Febrie Adriansyah--

HARIAN DISWAY - Kejaksaan Agung melalui Tim Penyidik Jampidsus kembali melakukan pemeriksaan pada saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) Sub Holding KKKS tahun 2018-2023 pada Rabu, 9 April 2025.

Saksi baru yang dipanggil berjumlah tujuh orang yaitu RA Staf Fungsi Crude Oil Supply PT Kilang Pertamina International, RDF Specialist 1 HPO PT Kilang Pertamina International periode 2020 hingga 2024, RH GA dan QC Lab PT Orbit Terminal Merak. 

MTS VP Industrial Fuel Marine PT Pertamina Patra Niaga, FYP Manager Management Reporting PT Pertamina Patra Niaga, GM Senior Manager Commercial Medco E&P Grissik Ltd periode September 2022, dan SN Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi pada Kementerian ESDM. 

"Ketujuh orang saksi tersebut diperiksa terkait dengan perkara dugaan tindak korupsi dalam tata kelola minyak dan produk kilang PT Pertamina (Persero) Sub Holding Kontrak Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018-2023 atas nama tersangka YF dkk," ujar Kepuspenkum Harli Siregal dalam keterangan tertulisnya. 

BACA JUGA:Tim Penyidik Jampidsus Kembali Periksa Lima Saksi Karus Korupsi Minyak Mentah Pertamina

BACA JUGA:Lagi, 8 Saksi Baru Kasus Korupsi Minyak Mentah Pertamina Dipanggil Kejagung

Pemeriksaan terhadap tujuh orang saksi itu juga untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara yang dimaksud. 

Pada kasus ini Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. Salah satunya ialah Dirut PT Pertamina Patra Niaga berinisial RS. 

Kejagung menyebut total kerugian kuasa negara dalam perakara korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun. Rincian kerugiannya berupa kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp 35 triliun, kemudian kerugian ekspor minyak mentah melalui DMUT/Broker sebanyak Rp 2,7 triliun. 

Selain itu kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. 

PT Pertamina (Persero) sebelumnya telah membantah Pertamax merupakan BBM hasil oplosan.Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menegaskan Pertamax tetap sesuai standar, yaitu RON 92, dan memenuhi semua parameter kualitas bahan bakar yang telah ditetapkan Ditjen Migas.

Fadjar menyebut Kementerian ESDM juga terus mengawasi mutu BBM dengan cara melakukan uji sampel BBM dari berbagai SPBU secara periodik.

Ia menerangkan ada perbedaan signifikan antara oplosan dengan blending BBM. Oplosan adalah istilah pencampuran yang tidak sesuai dengan aturan, sedangkan blending merupakan praktik umum (common practice) dalam proses produksi bahan bakar.

Fadjar mencontohkan Pertalite yang merupakan campuran komponen bahan bakar RON 92 atau yang lebih tinggi dengan bahan bakar RON yang lebih rendah sehingga dicapai bahan bakar RON 90. Dengan demikian, Fadjar mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir terkait mutu BBM Pertamina. (*) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: