Tarif Resiprokal ala Trump: Senja Kala Era Perdagangan Bebas?

Tarif Resiprokal ala Trump: Senja Kala Era Perdagangan Bebas?

ILUSTRASI Tarif Resiprokal ala Trump: Senja Kala Era Perdagangan Bebas?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Misalnya, meningkatkan lapangan kerja, mengurangi ketergantungan impor luar negeri, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan melindungi pekerja AS. Fokus utama trumponomics adalah deregulasi, pemotongan pajak, proteksionisme, dan kebijakan perdagangan yang agresif. 

BACA JUGA:Pasar Saham Dunia Kembali Anjlok Akibat Lonjakan Tarif AS terhadap Tiongkok

BACA JUGA:Resistansi Indonesia dalam Menghadapi Perang Dagang Tarif Trump

Meski mendapat dukungan dari sebagian kalangan di lingkungan Partai Republik, kebijakannya juga memicu kritik dan perdebatan sengit di kalangan ekonom dan praktisi bisnis, terutama terkait dampaknya pada utang nasional, disparitas pendapatan, dan hubungan perdagangan internasional. 

Dampaknya kini sudah mulai terasa. Pabrik-pabrik yang bergantung pada bahan baku impor mulai menjerit. Harga barang konsumsi naik. Negara-negara pengekspor mulai kehilangan akses pasar yang stabil. 

Ketika tarif diberlakukan pada produk-produk strategis seperti semikonduktor, kendaraan listrik, dan peralatan medis, imbasnya merembet ke seluruh dunia, termasuk ke negara berkembang seperti Indonesia yang masuk jaringan rantai pasok global.

Apabila dirunut ke belakang, sebetulnya AS punya tanggung jawab historis atas munculnya era proteksionisme. 

Pada 1930, Undang-Undang (UU) Tarif yang juga dikenal sebagai UU Smoot-Hawley kali pertama diberlakukan setelah diperkenalkan dan dipromosikan Senator Reed Smoot dan politikus Willis Hawley kepada Kongres pada Mei 1929 dan ditandatangani Presiden Herbert Hoover setahun kemudian, 17 Juni 1930. 

Atas dasar UU Smoot-Hawley, pemerintah AS menaikkan tarif impor sekitar 40 persen hingga 60 persen terhadap sekitar 900 produk dalam upaya melindungi petani dan sektor bisnis di AS. 

Kenaikan tarif yang diatur dalam UU itu memengaruhi berbagai impor: telur, pakaian, minyak mentah, dan gula serta barang-barang konsumtif lainnya. 

Ironisnya, kebijakan penerapan tarif yang diatur dalam UU itu justru dianggap makin memperburuk Depresi Besar, merujuk pada krisis ekonomi global yang terjadi sejak 1929 dan memengaruhi ekonomi global. 

Pada akhirnya, selama satu dekade menggiring perekonomian AS ke tepi jurang Depresi Besar, hancurnya pasar modal, pertumbuhan ekonomi menurun tajam, dan mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaan serta memicu kenaikan angka pengangguran.  

PSEUDORESIPROKAL?

Banyak yang meyakini bahwa kebijakan tarif Trump bukanlah murni bersifat resiprokal. Menurut klaim Trump, ”Resiprokal berarti: kalau mereka lakukan itu ke kita, kita lakukan hal yang sama ke mereka. Sangat sederhana. Tidak bisa lebih sederhana dari itu.” 

Lalu, diperkuat penjelasan tim ekonominya berulang kali dengan menyatakan bahwa tarif tersebut hanyalah pembalasan atas hambatan perdagangan yang dihadapi pengekspor AS di negara-negara tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: