Tarif Resiprokal ala Trump: Senja Kala Era Perdagangan Bebas?

ILUSTRASI Tarif Resiprokal ala Trump: Senja Kala Era Perdagangan Bebas?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Akan tetapi, benarkah demikian?
Banyak ekonom, bank, dan lembaga keuangan yang sangat meragukan bahwa tarif tersebut benar-benar resiprokal. Sebab, rumus yang digunakan tim Trump tidak masuk akal secara ekonomi. Bahkan, kenyataannya justru memberatkan banyak negara.
Bukan kesetaraan hubungan dagang yang ingin dicapai, melainkan Gedung Putih ingin menghapus defisit perdagangan AS secara sepihak.
Menurut Prof Doug Irwin, peneliti senior di Peterson Institute for International Economics dan pakar perdagangan global, tarif tersebut jelas tidak resiprokal karena beberapa alasan.
Pertama, Gedung Putih tidak mempertimbangkan tingkat tarif negara lain. Formula tersebut hanya membagi defisit perdagangan barang AS dengan setiap negara terhadap total barang impor dari negara tersebut.
Kedua, tarif ”resiprokal” bahkan diterapkan kepada negara-negara yang sudah punya perjanjian perdagangan bebas dengan AS seperti Cile, Australia, Peru, dan Korea Selatan. Padahal, hubungan dengan mereka sudah resiprokal.
Washington tidak memungut tarif, mereka juga tidak. Yang sebenarnya terjadi adalah mereka tidak memfokuskan pada hambatan perdagangan luar negeri, tapi pada defisit perdagangan. Itulah metrik yang mereka gunakan.
Organisasi perdagangan dunia World Trade Organization (WHO) pun tampaknya mendukung pandangan para ekonom bahwa tarif ”resiprokal” Trump justru jauh lebih tinggi daripada tarif negara lain terhadap AS.
Sebagai contoh lain adalah Vietnam. AS mengenakan tarif 46 persen terhadap barang impor dari Vietnam. Padahal, menurut data WTO, Vietnam hanya mengenakan tarif rata-rata sederhana sebesar 9,4 persen dan tarif rata-rata tertimbang (berdasarkan porsi produk) sebesar 5,1 persen terhadap AS.
Contoh pada kasus Vietnam jelas menunjukkan bahwa ini bukan tergolong tarif resiprokal. Meskipun, pada akhirnya Vietnam segera meresponsnya dengan menghapus tarif impor atas seluruh barang AS.
AS telah mengalami tragedi pahit bahwa konsekuensi penerapan Undang-Undang Smoot-Hawley memicu impor dan ekspor AS turun drastis sekitar 40 persen. Kanada dan Eropa membalas aksi AS dengan memberlakukan tarif retaliasi pada produk AS.
Perang tarif realitasnya mengakibatkan banyak bank mulai bangkrut dan perdagangan global menurun sekitar 65 persen. Selain itu, penerimaan pajak dari pengenaan tarif sangat rendah jika dibandingkan dengan apa yang dikumpulkan pemerintah melalui pajak individu dan perusahaan.
Situasi itu menempatkan ekonomi global pada titik kritis. Bukannya menghapus sejarah kelam, kini Trump mengulangi kembali perang tarif. Pun, publik AS terpaksa harus membayar harga yang lebih tinggi lagi untuk sebuah ”perang” yang sama sekali tidak menguntungkan.
Perang tarif yang ditampilkan AS-Tiongkok di panggung global telah mereduksi tatanan dan norma perdagangan bebas yang sangat dikhawatirkan akan menggiring dunia menuju krisis ekonomi tak berkesudahan. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan analis di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: