Suami Bunuh Istri saat Proses Cerai: Siasat Kecil Tersangka

ILUSTRASI Suami Bunuh Istri saat Proses Cerai: Siasat Kecil Tersangka.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sang suami tidak melarikan diri. Polisi memeriksanya. Tak ada bukti hukum bahwa Shamji membunuh istri. Polisi terus mencari bukti-bukti hukum. Akhirnya ketemu. Tiga tahun kemudian Shamji diadili, divonis hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat sampai dengan 14 tahun.
CBC mengutip pendapat Prof Betty Jo Barrett, peneliti kekerasan pasangan intim yang guru besar prodi perempuan dan gender di The University of Windsor, Ontario, Kanada.
Betty: ”Hasil penelitian menunjukkan, risiko pembunuhan dalam rumah tangga menjadi paling tinggi selama masa perpisahan. Baik sebelum, juga saat perpisahan, maupun sesudahnya. Korban kebanyakan perempuan.”
Dilanjut: ”Itu terjadi terutama pada suami yang punya riwayat intimate partner violence (KDRT). Intensitas kekerasan suami dalam rumah tangga meningkat drastis ketika orang yang dilecehkan (istri) memutuskan untuk meninggalkan hubungan tersebut.”
Betty mengungkap hasil riset yang kemudian dijadikan teori dasar pembunuhan dalam keluarga. Sumber utama pembunuhan pada momentum waktu di sekitar perpisahan adalah kekuasan dan kontrol suami terhadap istri.
Selama pernikahan atau pacaran berlangsung, pria merasa berkuasa dan memegang kendali pasangan perempuannya. Pria merasa selalu bisa mengendalikan si perempuan. Bagai naik kuda, ia merasa duduk di atas kuda dan memegang tali kendali. Mau belok kiri atau kanan, ia yang menentukan.
Jika ditarik garis waktu mundur, mengapa bisa begitu? Jawabnya, di berbagai bangsa, budaya, dan agama, disebutkan bahwa pria pemimpin rumah tangga. Karena itu, ia merasa pegang kendali.
Seandainya tidak, ia bakal dilecehkan keluarga, kerabat, teman, dan masyarakat. Setidaknya, ia dianggap bukan laki-laki pemimpin keluarga.
Nah, ketika hubungan asmara akan putus, pria bakal stres berat. Ia merasa kekuasaan dan kendali itu bakal segera hilang setelah berpisah.
Betty: ”Sehingga pria akan meningkatkan kekuasaan dan taktik kontrol terhadap pasangannya. Tujuannya untuk memaksa wanita tersebut bertahan (tidak pisah). Peningkatan kekuasaan itu bisa berupa ancaman kekerasan fisik dan psikologis.”
Di situlah bahayanya buat perempuan. Bisa jadi korban tindak kekerasan, bahkan pembunuhan.
Pertanyaannya, berapa lama momentum waktu bahaya itu? Pakar psikologi kriminal lain mengatakan: Sejak pria mendengar atau tahu bahwa ia bakal berpisah dengan pasangan sampai dengan maksimal dua tahun setelah perpisahan. Setelah dua tahun lewat dari saat perpisahan, perempuan sudah aman.
Meski teori itu bisa bermanfaat, tidak ada gunanya buat pelaku atau calon pelaku. Sebab, pada saat kejadian, pelaku pria atau wanita terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Pikiran dan emosi mereka centang perenang.
Sedih, benci, masih cinta, campur bingung akan melakukan apa di masa depan jangka pendek. Di saat begitu, tidak mungkin mereka memikirkan teori kriminologi.
Padahal, jika terjadi pembunuhan, pelaku dan korban sama-sama hancur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: