18 Tahun ARTJOG: Dari Kegelisahan Seniman, Menjadi Lebaran Seni

Heri Pemad (dua dari kiri) menjelaskan bagaimana proses bertumbuhnya ARTJOG sejak awal digagas pada 2007.-Boy Slamet-HARIAN DISWAY
HARIAN DISWAY - Seperti banyak gerakan besar yang lahir dari keresahan, ARTJOG pun bermula dari hal yang sama: kegelisahan. Bukan soal teknis, bukan karena kekurangan dana atau tempat.
Tapi karena ruang untuk mengekspresikan karya—khususnya seni rupa—terlalu sempit di Yogyakarta pada 2007. Di tahun itu, Penggagas ARTJOG Heri Pemad, yang awalnya bercita-cita menjadi pelukis, bersama sejumlah seniman lain, merasa bahwa dunia seni visual sedang sepi panggung.
Minim institusi, minim galeri, dan lebih minim lagi apresiasi publik. Maka mereka menciptakan ruangnya sendiri. “Kami gelisah. Jadi ya, kami bikin sendiri, bayar sendiri, nonton sendiri,” kata Heri sambil terkekeh, mengingat awal mula ARTJOG.
Yang tak ia sadari saat itu, dari semangat mandiri itulah justru api besar dimulai. Mereka tidak menggantungkan diri pada bantuan pemerintah.
Salah satu karya yang ditampilkan di acara Road to ARTJOG Arak-arak di Surabaya karya seniman Jompet atau Agustinus Kuswidananto. -Boy Slamet-HARIAN DISWAY
Sebaliknya, mereka berangkat dari semangat budaya mandiri—sebuah kebutuhan kolektif untuk mempertanggungjawabkan karya kepada publik. Inilah yang membuat ARTJOG bisa bertahan hingga tahun ke-18.
“Kalau ini adalah kebutuhan kita, maka dalam kondisi apapun ARTJOG harus ada,” ujar Heri mantap. Misi ARTJOG sejak awal bukan hanya pameran, melainkan peristiwa. Ia bukan soal berapa karya yang terjual, tetapi seberapa banyak publik yang hadir, menyaksikan, merespons, bahkan mengkritik.
Justru dari respons itulah keberhasilan dinilai. “Karena keberhasilan itu bukan semata-mata materi, tapi ketika pikiran kita berhasil disampaikan kepada publik,” lanjut Heri.
Seni bukan untuk dikurung di ruang-ruang putih steril. Maka misi ARTJOG sejak awal adalah mendekatkan seni dengan publik sedekat-dekatnya. Membuka ruang dialog. Membuat siapa pun—dari anak-anak hingga lansia—bisa menyentuh dan merasakan denyutnya.
BACA JUGA: Resmi Ditutup Tisna Sanjaya, Animo Masyarakat pada ARTJOG 2024 Meningkat Dibandingkan Tahun Lalu
Di tahun-tahun awal, ARTJOG hanya menempati ruang kecil di Taman Budaya Yogyakarta. Tapi pengunjung datang dari mana-mana. Bukan hanya dari kota-kota sekitar, tapi juga mancanegara.
Karya yang dipamerkan meluber ke jalan. Seniman di studio-studio pinggiran Jogja mulai membuka pintunya. Warung kopi dan kafe ikut memamerkan karya seninya. Hotel dan homestay membuat program seni kecil-kecilan.
“Waktu itu tempatnya kecil, tapi semangatnya meluber ke seluruh kota,” kata Heri. Maka satu pertanyaan besar muncul: Bagaimana membesarkannya?
Jawaban itu muncul dari semangat berbagi. Bahwa ARTJOG bukan milik satu ruang atau satu kelompok. Ini adalah milik ekosistem. Maka lahirlah gerakan lebih luas: Jogja Art Week.
BACA JUGA: Lebaran Seni Artjog
BACA JUGA: ArtJog Lagi, Kapan ArtBaya?
Dari hanya satu titik, ARTJOG menjelma menjadi semacam poros gravitasi seni rupa nasional—bahkan Asia Tenggara. Peristiwa utamanya tetap berlangsung di satu lokasi, tapi getarnya terasa ke pelosok-pelosok Bantul, Sleman, bahkan Magelang.
“Yang punya studio, kontrakan kosong, kafe, hotel, semua ikut merespons,” kata Heri. Ada yang bikin pertunjukan pinggir sawah. Ada yang bikin pameran di dekat sungai. Bahkan di pinggir kuburan pun ada instalasi yang muncul.
Satu kota jadi panggung. Seni tak lagi elitis. Ia hadir di meja makan, di emperan, di atap rumah. Diubah menjadi syukuran, dirayakan seperti kawinan. “Yang semula hanya ARTJOG, sekarang menjelma jadi Lebaran Seni,” ucap Heri.
Kini, ARTJOG memasuki tahun ke-18. Usia yang cukup panjang untuk sebuah festival yang tak pernah kehilangan napas mudanya. Tapi bagaimana bisa bertahan selama ini?
BACA JUGA:Water Temple Paradox dalam ARTSUBS, Representasi Kibo terhadap Paradoks Sebuah Perayaan
Jawaban Heri kembali ke awal: karena semangatnya bukan proyek, tapi kebutuhan. “Seni itu ekspresi dari pikiran dan keresahan kita. Dan kalau kita menyebut ini profesi, ya harus dipertanggungjawabkan.”
Pertanggungjawaban itu datang setiap tahun. Tanpa henti. Bahkan ketika pandemi, ARTJOG tetap hadir meski dalam bentuk yang sangat terbatas. Karena ia tak bisa absen. Ia bukan sekadar festival, tapi wujud dari sebuah kesadaran kolektif: bahwa seniman harus bicara, dan publik harus diberi ruang untuk mendengar.
Di ARTJOG, Anda mungkin tak selalu paham karya-karya yang dipajang. Tapi bukan itu intinya. Anda bisa menikmati musik punk di satu sudut, mendengarkan keroncong di sudut lain, menyaksikan performance art yang bisa saja membingungkan tapi juga membebaskan.
Ada yang datang untuk belajar, ada yang datang untuk selfie. Semuanya diterima.
BACA JUGA: Lewat Beyond My Wildest Dream, Zeta Ranniry Abidin Ekspresikan Kejar Mimpi di ARTSUBS
BACA JUGA: ARTSUBS dan Pable Indonesia Gelar Workshop Kerajinan Tas Makrame dari Tali Daur Ulang
Dan Heri Pemad tetap berdiri di tengahnya. Bukan sebagai bos besar, tapi sebagai penggerak yang terus menjaga semangat awalnya: semangat kegelisahan yang disalurkan lewat karya.
“Saya selalu bilang ke teman-teman, kalau punya ide bikin peristiwa, rayakan. Tak perlu nunggu ARTJOG besar. Yang penting semangatnya sampai,” katanya.
Dari ruang kecil di Taman Budaya, kini ARTJOG telah menjadi peristiwa budaya terbesar di Indonesia. Tapi Heri tahu, ukurannya bukan luas gedung atau banyaknya sponsor.
Tapi sejauh mana karya seni bisa menyentuh, memantik, dan menggugah siapa pun yang datang. Karena pada akhirnya, seni tak pernah soal menjual. Tapi soal merayakan hidup. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: