Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Membaca tidak lagi menjadi kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu, melainkan hanya rutinitas untuk memenuhi nilai.-Stebby Julionatan-

Bukan hanya buku sastra nasional, tetapi juga karya-karya lokal yang bisa merepresentasikan pengalaman dan isu khas daerah mereka pun nyaris tidak tersedia.

BACA JUGA: Kindle, Ringan dan Praktis, Sahabat Baru Pecinta Buku

Situasi ini tentu memperparah absennya pendekatan literasi yang berbasis lokalitas. Ketika membicarakan sastra sebagai cermin kehidupan dan identitas kultural, bagaimana mungkin siswa diajak memahami ketimpangan sosial di sekitarnya jika tidak ada karya yang menarasikannya?

Di beberapa sekolah, bahkan untuk memperkenalkan wacana kebangsaan melalui sastra pun terasa mustahil—karena bahan bacaan itu sendiri tidak ada.

Maka dari itu, perhatian terhadap akses, distribusi buku, dan penyediaan fasilitas literasi yang merata menjadi persoalan mendesak dalam pembicaraan tentang pendidikan sastra hari ini.

BACA JUGA: 5 Rekomendasi Buku Motivasi yang Bisa Mengubah Cara Pandang Hidup

Perubahan Kurikulum dan Meredupnya Minat Baca

Salah satu tantangan yang paling saya rasakan belakangan ini adalah dampak nyata dari transisi Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka.

Di atas kertas, kurikulum ini menjanjikan kebebasan yang lebih luas bagi guru dan siswa untuk mengeksplorasi minat dan potensi mereka. Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seideal konsepnya.

Alih-alih menjadi ruang merdeka untuk memperkaya literasi, mata pelajaran Bahasa Indonesia Lanjutan yang seharusnya membuka pintu eksplorasi sastra dan pemikiran kritis justru dipandang sebagai beban tambahan.

BACA JUGA: 6 Buku Bahasa Inggris tentang Cinta & Kehidupan Usia 20-an

Banyak siswa menghindarinya bukan karena sulit, tetapi karena tidak lagi merasakan relevansi atau daya tariknya.

Pengalaman ini sejalan dengan cerita para guru yang saya temui dalam kegiatan sosialisasi Peta Sastra Kebangsaan dan sesi diskusi bersama para guru di Salihara.

Ketika buku-buku tidak tersedia, karya-karya lokal absen, dan kebebasan mengajar dibatasi oleh kekhawatiran akan reaksi wali murid atau regulasi internal sekolah, maka perubahan kurikulum saja tidak cukup.

BACA JUGA: Buku yang Wajib Dibaca di 2025: Pilihan Fiksi dan Non-Fiksi untuk Memperkaya Diri

Bahkan, di SMA Asisi yang relatif memiliki kelonggaran dan dukungan, saya melihat sendiri bahwa jumlah siswa yang menikmati membaca karya sastra di luar kewajiban akademik semakin berkurang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: