Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Membaca tidak lagi menjadi kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu, melainkan hanya rutinitas untuk memenuhi nilai.-Stebby Julionatan-

Membaca tidak lagi menjadi kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu, melainkan hanya rutinitas untuk memenuhi nilai.

Refleksi ini menguatkan kekhawatiran saya: jika sistem pendidikan tidak dibarengi dengan dukungan ekosistem literasi yang memadai —baik dari segi akses, pendekatan pengajaran, maupun kebijakan yang berpihak— maka minat baca akan terus merosot.

BACA JUGA: Media Sosial Jadi Salah Satu Sebab Perubahan Cara Membaca dan Membeli Buku Orang Tiongkok

Apa jadinya masa depan literasi bangsa jika buku-buku tidak hadir, jika sastra tidak diberi ruang, dan jika membaca tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan kultural yang mendalam?

Tetap Menghidupkan Sastra dengan 3 Kata Kunci


Ayu Utami berdialog hangat dengan siswa, membedah pemikiran bangsa lewat kata kunci sastra. Metode 11+1 jadi cara baru memahami Indonesia.-Stebby Julionatan-

Dengan tiga persoalan yang telah saya paparkan sebelumnya—kurangnya dukungan struktural, ketimpangan akses terhadap literatur, dan meredupnya minat baca akibat perubahan kurikulum—muncul pertanyaan mendasar: bagaimana kita bisa terus merawat pendidikan sastra di tengah kondisi seperti ini?

Ayu Utami, dalam pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara, pernah menawarkan pendekatan “11+1 Kata Kunci” sebagai metode terbuka yang bisa disesuaikan dengan konteks. Pendekatan ini tidak kaku, dan justru memberi ruang bagi pengajar untuk beradaptasi.

BACA JUGA: Literasi Digital, Solusi Cerdas untuk Menghadapi Hoaks dan Disinformasi

Tahun ini, dalam pelaksanaan proyek Peta Sastra Kebangsaan yang saya lakukan di SMA Asisi Jakarta (Maret–Mei 2025), saya mencoba menggunakan hanya tiga kata kunci utama.

Waktu yang terbatas bukan alasan untuk menyerah. Dari pengalaman saya mengajar di berbagai tempat—baik di SMA maupun perguruan tinggi—saya belajar bahwa keberanian untuk mengadaptasi dan memodifikasi metode sangat penting untuk menjaga agar nyala sastra tidak padam.

Saya percaya, pengajaran sastra tidak bisa menunggu kondisi ideal. Ketika akses terbatas, ketika kebijakan berubah dengan cepat, bahkan ketika buku-buku disensor atau tak tersedia, kita tetap bisa membangun ruang dialog yang hidup lewat sastra.

BACA JUGA: Perpustakaan Lokalisier Dibuka, Sualoka Hub Jadi Destinasi Baru Literasi dan Kreativitas di Gresik

Kreativitas, keteguhan hati, dan dukungan komunitas menjadi modal utama. Di SMA Asisi, saya bersyukur memiliki kepala sekolah dan wali murid yang mendukung. Tapi saya sadar, banyak rekan saya di daerah lain yang harus berjuang sendirian.

Justru karena itu, saya merasa semakin yakin bahwa sastra harus terus diajarkan. Apalagi, sehari setelah pembukaan proyek Peta Sastra Kebangsaan tahun ini, DPR mengetuk palu untuk mengesahkan UU TNI yang telah direvisi.

Sebagai pengajar, saya bertanya dalam hati—apakah ini bukan bentuk ancaman bagi kebebasan berpikir dan berekspresi? Apakah kita akan kembali pada masa ketika suara kritis dibungkam secara sistematis?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: