Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Merawat Pendidikan Sastra di Tengah Gempuran Dunia Industri

Membaca tidak lagi menjadi kegiatan yang membangkitkan rasa ingin tahu, melainkan hanya rutinitas untuk memenuhi nilai.-Stebby Julionatan-

Arah pemikiran Stella tersebut secara tidak langsung menegaskan kembali posisi sastra dan bidang humaniora sebagai hal yang tidak mendesak, dan bahkan dianggap kurang relevan dalam strategi pembangunan nasional Indonesia saat ini.

BACA JUGA: Denny JA: Puisi Esai Jadi Terobosan Diplomasi Lewat Sastra

Ketika perhatian terhadap sains dan teknologi semakin mendominasi —sebab sejalan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi nasional— pelajaran sastra dan aktivitas literasi justru semakin terpinggirkan.

Dalam kondisi tersebut memperjuangkan ruang bagi sastra di tengah ekosistem pendidikan yang semakin pragmatis menjadi pekerjaan yang tidak mudah.

Di tengah dinamika kebijakan pendidikan dan desakan kebutuhan ekonomi yang kian mendesak, kegiatan Peta Sastra Kebangsaan yang kembali saya dan Ayu Utami helat di SMA Asisi Jakarta pada Maret 2025 terasa seperti upaya kecil untuk tetap merawat sisi batiniah dari pendidikan —sebuah ruang yang memberi tempat bagi empati, imajinasi, dan kemanusiaan.

BACA JUGA: Rayakan Bulan Bahasa dan Sastra, Parade Agung Buku Filmis Hasil Elang Nuswantara Geber 14 Buku oleh 251 Penulis

Sastra, yang mungkin tidak selalu tampak mendesak, justru semakin terasa penting untuk dipelihara.

Ya, meski sama dengan tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan kali ini terasa jauh lebih menantang. Tekanan yang saya hadapi bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga berkaitan erat dengan pergeseran orientasi pendidikan yang telah dipaparkan sebelumnya.

Peta Sastra Kebangsaan yang saya maksudkan di atas adalah metode membaca pemikiran bangsa melalui sastra dengan menggunakan 11+1 kata kunci (baca: Membaca Peta Sastra: Menghentikan Kekerasan oleh Anak, 2024).

BACA JUGA: Profil Eka Kurniawan: Penulis yang Membawa Sastra Indonesia Mendunia

Dinamika dalam Dunia Pengajaran Sastra


Mengajarkan sastra di tengah tekanan akademik bukan hal mudah. Bagi sebagian guru, ruang berkreasi justru jadi kemewahan, bukan standar.-Stebby Julionatan-

Pada tahun ini, setelah saya mengalami sendiri perbedaan mengajarkan hal yang sama, yaitu sastra, di SMA dan di perguruan tinggi,  saya semakin memahami kegelisahan para guru (baca: guru Bahasa dan Sastra Indonesia).

Salah seorang guru asal Banten, Apip Kurniadin, yang pernah mengikuti pelatihan Peta Sastra Kebangsaan di Salihara pada 2024 pernah menyampaikan pada saya bahwa kurikulum saat ini menempatkan mereka dalam dilema, yakni antara memenuhi tuntutan akademik atau mengajarkan sastra sebagai bagian dari ideologi mereka (baca: identitas bangsa). 

Dari apa yang Apip utarakan, saya berefleksi bahwa sebenarnya keberhasilan saya membawa sastra ke ruang kelas di SMA Asisi Jakarta adalah bentuk privilege. Ya, di tempat tersebut, saya diberi izin oleh kepala sekolah di tempat saya mengajar untuk melakukan inovasi dalam kurikulum.

BACA JUGA: Bagikan Cara Menulis Fiksi dalam Kembara Sastra dalam Dunia Rempah Nusantara oleh Perlima, Ini Arahan Kurnia Effendi!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: