Bahaya Microtransaction di Game! Keseruan dan Ancaman Kantong Jebol

Clash Of Clans merupakan salah satu game yang melakukan microtransactions. --starloopstudio
HARIAN DISWAY – Game zaman dulu adalah soal kesabaran dan keterampilan. Game zaman sekarang? Soal kartu kredit. Jika Anda membuka game gratis di ponsel atau mencoba bermain FIFA terbaru tanpa mengeluarkan sepeser pun, bersiaplah.
Dalam waktu kurang dari sejam, Anda akan ditawari: beli kostum karakter seharga Rp 150 ribu, beli senjata seharga kopi artisan, atau malah beli pass supaya bisa naik level lebih cepat. Fenomena ini punya satu nama: microtransaction.
Secara sederhana, microtransaction adalah model pembayaran dalam game di mana pemain bisa membeli item, karakter, kostum, mata uang virtual, atau fitur tertentu—dengan uang asli.
Biasanya jumlahnya kecil. Hanya Rp 15 ribu untuk satu paket koin. Tapi seperti beli gorengan yang nggak kerasa, tahu-tahu habis Rp 100 ribu. Dan tidak jarang, ada yang tergelincir ke angka jutaan.
BACA JUGA:Kontroversi Genshin Impact, Kena Denda Rp 300 Miliar Gara-gara Lootbox
BACA JUGA:5 Game Kairosoft Terbaik: Ketika Game Pixel HP Membentuk Dunia yang Membuat Ketagihan
Salah satu publisher game yang menggunakan microtransaction adalah EA. --EA
Microtransaction muncul seiring naiknya popularitas game free-to-play. Game-nya gratis, tapi untuk tampil keren atau menang cepat, pemain harus merogoh kocek. Ini bukan sekadar gaya main. Ini strategi bisnis yang mengubah wajah industri game secara total.
Tak ada yang lebih mewakili era microtransaction daripada nama-nama besar seperti Electronic Arts (EA), Activision Blizzard, dan Tencent.
EA, misalnya, sudah menjadi langganan kritik karena model loot box dalam seri FIFA Ultimate Team. Pemain bisa membeli pack berisi pemain secara acak. Terkadang dapat Cristiano Ronaldo. Terkadang dapat pemain cadangan Liga Inggris. Mirip gacha, mirip judi—dan sudah banyak negara yang memperdebatkan apakah ini pantas untuk anak-anak.
Activision Blizzard tak mau kalah. Dalam game Call of Duty: Warzone, senjata dan skin bisa dibeli terpisah. Beberapa skin bahkan dibanderol di atas Rp 300 ribu. Konyol? Tidak juga, karena banyak yang beli. Apalagi jika skin-nya tematik, seperti edisi Godzilla vs. Kong atau Attack on Titan.
BACA JUGA:Genshin Impact Terancam Boikot, Dituduh Apropriasi Budaya hingga Whitewashing!
BACA JUGA:4 Poin tentang Penundaan Game Rockstar yang Berbuah Mahakarya
Tencent? Jangan tanya. Perusahaan raksasa asal Tiongkok ini punya game seperti Honor of Kings, PUBG Mobile, dan Arena of Valor—semuanya punya sistem microtransaction yang dalam dan menggoda.
Di satu sisi, model ini membuat game tetap bisa dimainkan secara gratis oleh siapa pun. Tapi di sisi lain, menciptakan kesenjangan antara pemain yang bayar dan yang tidak. Istilahnya: pay-to-win.
Banyak developer berdalih: microtransaction adalah pilihan. Tidak wajib. Tidak memaksa. Tapi realitanya tidak sesederhana itu.
Coba bayangkan Anda bermain game tembak-tembakan online. Anda pakai senjata gratis. Lawan Anda pakai senjata seharga Rp 50 ribu yang bisa membidik lebih cepat dan lebih akurat. Anda kalah berkali-kali. Frustrasi. Lalu akhirnya, beli juga.
Di sinilah letak persoalannya. Microtransaction sering dikaitkan dengan game design yang sengaja dibuat membuat pemain lelah, lalu ditawarkan jalan pintas dengan cara membayar. Sistem ini disebut dark pattern—manipulasi halus dalam desain untuk mendorong pembelian.
Dan parahnya, korbannya sering kali anak-anak dan remaja. Banyak kasus orang tua yang kaget saat mendapati tagihan kartu kredit membengkak karena anaknya membeli item di game yang katanya gratis.
BACA JUGA:Cara Dapatkan Saldo DANA Rp 496.500 dari Main Game Sambil Maraton Drakor
BACA JUGA:Cara Mendapatkan Saldo DANA di Game XWorld, Ini Triknya!
Tidak semua microtransaction itu jahat. Beberapa developer menggunakannya secara adil.
Contohnya, Fortnite dari Epic Games. Game ini tidak menjual kekuatan. Semua pembelian hanyalah kosmetik: skin, tarian, dan aksesoris. Tidak ada keuntungan dalam gameplay. Hanya gaya.
Game seperti Genshin Impact juga mengandalkan sistem gacha, tapi pemain masih bisa menikmati cerita panjang dan peta luas tanpa membayar sepeser pun, meskipun tentu perjuangan akan lebih berat.
Sementara Valorant dari Riot Games hanya menjual tampilan senjata. Tidak menambah damage. Tidak menambah akurasi. Murni soal estetika.
Masalah muncul saat microtransaction menjadi jalan satu-satunya untuk menang. Saat game berubah dari uji keterampilan menjadi uji dompet. Di sinilah integritas developer diuji.
Di banyak negara, microtransaction mulai diawasi ketat. Inggris, Belgia, dan Belanda sudah membatasi model loot box karena dinilai mirip perjudian.
BACA JUGA:Tarif Trump Bikin Industri Game Jepang Goyang
BACA JUGA:Patch Terbaru Call of Duty: Black Ops 6 Menghadirkan Tokoh Squid Game, Ada Young-hee Juga!
Para orang tua mulai diberi edukasi untuk membatasi pengeluaran anak dalam game. Dan para gamer senior mulai lebih selektif—tidak lagi langsung membeli game jika tahu isinya penuh microtransaction.
Di sisi lain, para publisher tetap ngotot. Microtransaction adalah mesin uang. Pendapatan EA dari FIFA Ultimate Team saja mencapai lebih dari USD 1,5 miliar (Rp 24,8 triliun) per tahun. Ini bisnis besar. Sangat besar.
Yang bisa dilakukan pemain adalah melek dan bijak. Tidak semua game gratis itu murah. Dan tidak semua pembelian kecil itu tak berdampak. Kadang-kadang, membayar sekali untuk game penuh justru lebih adil dan puas.
Dunia game telah berubah. Dulu kita membayar sekali dan memiliki seluruh game. Sekarang kita disuruh bayar berkali-kali untuk bisa menikmati sepotong demi sepotong.
Microtransaction adalah pedang bermata dua. Ia bisa membantu developer bertahan hidup dan memperpanjang umur game. Tapi juga bisa merusak keseimbangan, menciptakan ketimpangan, dan menjadikan pemain sebagai ladang emas tanpa henti.
Apakah kita mau terus menjadi sapi perah digital? Atau sudah waktunya menekan pause dan memikirkan kembali: apa sebenarnya yang kita cari dari bermain? Kesenangan atau status digital? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: