Bangkit Itu Bukan Seremoni

Lahirnya organisasi Boedi Oetomo yang jadi cikal bakal peringatan Hari Kebangkitan Nasional.--ist
TANGGAL 20 Mei. Banyak yang lupa atau sekadar ingat karena poster ucapan di WhatsApp grup. Padahal, 20 Mei bukan tanggal biasa. Ia pernah jadi hari yang menggetarkan: lahirnya Boedi Oetomo pada 1908. Sebuah awal dari kebangkitan nasional.
Namun, hari-hari ini, ”bangkit” seperti kehilangan makna. Ia jadi tema pidato tahunan, upacara wajib, atau sekadar kutipan motivasi. Padahal, kita sedang tidak baik-baik saja.
Ekonomi kita tumbuh, iya. Jalan tol makin panjang, iya. Gedung tinggi makin banyak, iya. Tetapi, apakah itu cukup disebut ”kebangkitan”?
BACA JUGA:Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Bermusyawarah di Era Digital
BACA JUGA:Maknai Hari Kebangkitan Nasional, BRI Perkuat Ekonomi Indonesia dengan 7 Inisiatif Strategis
Kalau anak-anak muda makin skeptis, aparat makin beringas, elite makin sibuk pencitraan, dan rakyat kecil tetap sibuk bertahan? Maka, apakah masih relevan jika kita merayakan ”kebangkitan?”
DULU BANGKIT KARENA MASALAH, SEKARANG?
Kebangkitan Nasional 1908 bukan soal kemewahan. Justru lahir dari kesadaran baru di tengah keterjajahan. Para pelajar dan dokter muda waktu itu (yang sekarang mungkin kita sebut sebagai ”privileged class”) justru memilih berorganisasi, bukan lari dari realitas bangsanya. Mereka tahu, kalau bukan mereka yang bangkit, lalu siapa?
Pertanyaannya, kita hari ini bangkit dari apa? Untuk apa?
BACA JUGA:20 Mei dan Lahirnya Budi Utomo: Tonggak Sejarah Kebangkitan Nasional
BACA JUGA:Tema, Logo, dan Sejarah Hari Kebangkitan Nasional 2025 yang Berkaitan dengan Budi Utomo
Kita tidak dijajah Belanda, tapi dijajah ego, oleh kemalasan berpikir, dan oleh kebiasaan menyalahkan. Kita hidup di zaman yang katanya serbacanggih, tapi makin kehilangan arah.
Semuanya cepat, tapi dangkal. Semuanya terkoneksi, tapi makin terpisah. Kalau itu bukan masalah, lalu apa?
BANGKIT ITU BUTUH TEKAD, BUKAN TRENDING TOPIC
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: