Gonggo Mino, Musik Khas Masyarakat Tengger Desa Ngadiwono, Dimainkan Jelang Yadnya Kasada

Musik Gonggo Mino dibawakan kelompok musik Ketipung Tengger Desa Ngadiwono, jelang keberangkatan mereka untuk mengikuti Yadnya Kasada di Gunung Bromo.-Patrick Cahyo Lumintu-
PASURUAN, HARIAN DISWAY - Jelang berangkat untuk melaksanakan upacara besar Yadnya Kasada, masyarakat Tengger di Desa Ngadiwono, PASURUAN, memiliki tradisi khusus. Yakni membunyikan musik khas.
Perangkat musiknya terdiri dari ketipung, kendang, kenong, gong, dan slompret. Mereka memainkan lagu khusus berjudul Gonggo Mino.
Lagu tersebut diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur Desa Ngadiwono. Namanya Eyang Tanggul. "Beliau adalah kabuyutan yang membuka pemukiman Ngadiwono. Dapat disebut sebagai leluhur yang melinggih atau mendiami desa ini," ujar Romo Dukun Puja Pramana, pemimpin spiritual masyarakat Hindu Tengger di desa tersebut.
BACA JUGA:Tradisi Lima Tahunan Upacara Unan-Unan, Upaya Melibatkan Pemuda dalam Melestarikan Budaya Tengger
Eyang Tanggul mengajarkan lagu Gonggo Mino tersebut kepada penghuni desa kala itu. Diwariskan turun-temurun dan lestari selama ratusan tahun. Iramanya rancak. Bertalu-talu. Ditambah dengan tiupan slompret yang dominan.
Jika menilik judulnya, gonggo artinya "air". Sedangkan mino berarti ikan. Gonggo Mino dapat diterjemahkan sebagai "Ikan yang hidup di air."
Anda sudah tahu, Ngadiwono, Pasuruan adalah desa yang ada di lereng Gunung Bromo. Masyarakat agraris yang kental dengan tradisi pertanian dan budaya khas pegunungan. Tapi mengapa lagunya justru berkisah tentang ikan yang hidup di air?
Sucipto, peniup slompret dalam kelompok Ketipung Tengger Desa Ngadiwono, Pasuruan, Jawa Timur.-Patrick Cahyo Lumintu-
BACA JUGA:Melestarikan Budaya Tengger melalui Promosi Digital dan Pemberdayaan Ethnowellness
Romo Dukun Puja memaparkan bahwa kisah Gonggo Mino diambil dari mitologi Hindu. Mengacu pada awatara atau penjelmaan Batara Wisnu kali pertama. Yakni sebagai Matsya, ikan raksasa yang menyelamatkan manusia dari banjir bandang.
Ikan itu membawa kapal besar yang memuat manusia dan segala jenis mahluk hidup. Mereka semua selamat. Awatara Batara Wisnu itu pun dihormati oleh pemeluk Hindu hingga kini. Termasuk masyarakat Hindu Tengger.
Iramanya yang rancak dan bertalu-talu adalah gambaran gejolak semesta. Alam pada cerita tersebut yang diwarnai gelombang tinggi dan badai. Sedangkan bunyi slompret merupakan gambaran ikan besar yang menuntun manusia mengikutinya.
BACA JUGA:Ceria dan Guyub, Begini Potret Yadnya Karo, Hari Besar Suku Tengger
Maka, posisi paling dominan dalam kelompok tersebut adalah pemain slompret. Ia sebagai penggerak iramanya. Kendang, ketipung, dan lain-lain, cenderung mengikuti arah nadanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: