Tagar KaburAjaDulu: Strategi Resistensi Terhadap Kekuasaan dalam Perspektif Michel Foucault

#KaburAjaDulu adalah frasa yang biasa digunakan oleh generasi muda saat menghadapi tekanan hidup yang berlebihan: stres kerja, overthinking, burnout akademik, konflik sosial, atau ekspektasi keluarga dan masyarakat.--iStockphoto
BACA JUGA: Budaya Asal Terima: Pembangunan Top-Down yang Melemahkan Kesadaran Kritis
Melalui #KaburAjaDulu, individu menciptakan ruang otonom dari pengaruh kekuasaan sosial. Ruang itu bisa berupa waktu untuk menyendiri, bepergian ke alam, menulis jurnal, atau tidur seharian. Semua ini adalah bentuk praktik kebebasan (practices of freedom), yakni upaya individu untuk mendefinisikan hidupnya di luar norma-norma yang dibakukan.
Identitas dan Pembentukan Subjek
Foucault juga banyak berbicara tentang bagaimana identitas tidak bersifat alamiah, melainkan hasil konstruksi sosial melalui diskursus. Identitas sebagai “mahasiswa ideal,” “karyawan berprestasi,” atau “anak yang membanggakan” adalah bentuk subjek yang diproduksi sistem melalui berbagai praktik kekuasaan.
#KaburAjaDulu menjadi cara untuk menolak menjadi subjek ideal. Ia membebaskan individu dari identitas yang dibentuk oleh keluarga, institusi, dan masyarakat. Dalam kekosongan itulah, subjek bisa menciptakan dirinya sendiri yaitu sebagai manusia, bukan mesin.
BACA JUGA:Resensi Novel Mawar Hitam; Antara Liku-Liku Trauma dan Ketimpangan Sosial
Dari Individual ke Kolektif: Solidaritas Digital
Fenomena #KaburAjaDulu juga memperlihatkan solidaritas digital antargenerasi. Ketika banyak orang membagikan pengalaman “kabur” mereka di media sosial, muncullah ruang wacana baru yang tidak lagi mendewakan kerja keras tanpa henti. Ini adalah bentuk reproduksi wacana resistensi secara kolektif, di mana individu yang kabur merasa tidak sendirian.
Tagar ini menciptakan komunitas wacana yang menyuarakan alternatif hidup: hidup yang perlahan, sadar diri, dan manusiawi. Hal ini sejalan dengan gagasan Foucault bahwa resistensi bisa menjadi produktif jika menciptakan relasi kuasa yang baru yakni lebih egaliter, lebih reflektif, dan lebih otonom.
Risiko dan Ambiguitas Resistensi
Namun, Foucault juga menyadari bahwa setiap bentuk resistensi bisa saja dikomodifikasi kembali oleh sistem kekuasaan. Dalam konteks ini, #KaburAjaDulu bisa menjadi tren konsumtif baru: healing menjadi gaya hidup yang dikomersialkan, kabur menjadi konten yang dipoles untuk mendapat likes dan views.
BACA JUGA:Pengorbanan Sebagai Puncak Penghambaan
Ketika resistensi dijadikan komoditas, ia kehilangan potensi subversifnya. Inilah yang disebut Foucault sebagai ambiguitas kekuasaan: ia bisa berubah bentuk, menyesuaikan diri, dan tetap mendisiplinkan dalam wujud yang baru. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk tetap kritis agar “kabur” tidak berubah menjadi ilusi kebebasan yang dikendalikan kapitalisme gaya hidup.
Penutup: Dari Pelarian Menjadi Kesadaran
Dalam dunia yang dipenuhi pengawasan, norma, dan target, kabur bukan berarti lemah, melainkan bisa menjadi tindakan politis, strategi eksistensial, dan praktik kebebasan. Dengan menggunakan #KaburAjaDulu sebagai ekspresi, individu menunjukkan bahwa dirinya masih punya kuasa atas tubuh, waktu, dan pikirannya.
Melalui lensa Foucault, kita belajar bahwa kekuasaan tidak selalu perlu dihadapi secara frontal. Ia bisa ditanggapi dengan strategi mikro yakni menjauh, menyepi, menolak, dan menciptakan ulang diri. Dalam pengertian ini, kabur bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi awal dari kesadaran bahwa kita bisa hidup dengan cara yang lain, cara yang lebih manusiawi, lebih bebas, dan lebih kita sendiri. (*)
Cintya Ratnaduhita* --
*) Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: cintya ratnaduhita