Budaya Asal Terima: Pembangunan Top-Down yang Melemahkan Kesadaran Kritis

Budaya “asal terima” mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi. Ketika warga sadar bahwa suara mereka “dibeli”, kekecewaan dan apati politik kian merajalela, memunculkan sikap sinis—bahwa politik hanyalah soal uang. --iStockphoto
HARIAN DISWAY - Beberapa minggu yang lalu, jagat maya dihebohkan oleh video yang memperlihatkan masyarakat Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengantre panjang untuk menandatangani spanduk “Kami Warga Jakarta Barat Mendukung UU TNI”.
Ketika giliran tiba, setiap orang tak hanya menandatangani, tetapi juga menerima sepaket sembako—motif utama yang memicu antrean panjang itu.
Lebih mengejutkan lagi, pada Kamis, 21 Maret 2025, sekitar tiga ratus massa bayaran dikerahkan di depan Gedung DPR RI untuk mendukung RUU TNI, dengan imbalan Rp 50 ribu per orang.
BACA JUGA: Suap Hakim Lagi: Ketua PN Jaksel Ditangkap
Praktik “beli dukungan” semacam ini menegaskan satu hal: persetujuan publik kini bisa dipatok dengan harga yang sangat murah, dan rakyat—terutama mereka yang terjepit kebutuhan—siap “menjual” suaranya.
Fenomena Asal Terima
Fenomena ini bukan semata soal kelaparan materi; ia mencerminkan kerentanan struktural masyarakat yang sejak lama dibentuk oleh pola pembangunan top down.
Ketika kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan sulit dipenuhi, tawaran sembako atau uang tunai menjadi godaan yang sulit ditolak. Banyak yang mengaku tak peduli dengan apa yang mereka “jualkan” suaranya, asalkan kebutuhan hari itu terjawab.
BACA JUGA: Usai RUU TNI, DPR RI Siap Bahas RUU Polri, Kejaksaan, hingga KUHAP
Kebutuhan mendesak itu membungkam suara kritis dan mengubur rasa ingin tahu, seperti mengapa RUU TNI dibutuhkan? Apa implikasinya bagi HAM dan kontrol sipil atas militer? Pertanyaan-pertanyaan itu tenggelam oleh bungkus plastik sembako atau uang tunai instan.
Budaya pasif “asal terima” sesungguhnya diwariskan dari masa Orde Baru. Pada era tersebut, pembangunan nasional digerakkan secara sentralistik—dari Jakarta untuk daerah—tanpa partisipasi rakyat dalam perumusan kebijakan.
Pemerintah berperan sebagai “pemilik kebenaran”, sementara masyarakat hanya dijadikan objek pelaksana. Model paternalistik ini menormalisasi relasi kuasa di mana kritik dianggap mengganggu “kestabilan” dan “kemajuan”.
BACA JUGA: Wakil Ketua DPR Dasco Ahmad Tanggapi Aksi Demo Tolak RUU TNI di Depan Gedung DPR
Akibatnya, kecenderungan untuk menerima kebijakan apa pun yang datang dari atas—selama ada imbalan—menjadi warisan sosial-politik yang melemahkan budaya kritis.
Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, serangan fajar adalah praktik pemberian uang, barang, jasa, atau materi lainnya saat kampanye menjelang pemilu untuk membeli suara pemilih yang masih mengambang. --iStockphoto
Istilah “serangan fajar” menggambarkan salah satu manifestasi politik uang yang paling akbar. Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, serangan fajar adalah praktik pemberian uang, barang, jasa, atau materi lainnya saat kampanye menjelang pemilu untuk membeli suara pemilih yang masih mengambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: