Gelombang Demo Agustus Ungkap Legitimasi Semu DPR RI

Gelombang Demo Agustus Ungkap Legitimasi Semu DPR RI

Situasi sidang tahunan DPR MPR 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta. Jumat, 15 Agustus 2025.--

HARIAN DISWAY – Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada Agustus 2025 menunjukkan puncak dari gelombang ketidakpuasan masyarakat terhadap para wakil rakyat.

Rentetan demonstrasi yang terjadi sejak 25 hingga 31 Agustus 2025, menunjukkan betapa besar kejengkelan publik terhadap kebijakan serta perilaku wakil rakyat.

Meskipun para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja dilantik beberapa bulan lalu, seharusnya legitimasi mereka masih kuat. Akan tetapi fakta berbanding terbalik, justru di mata publik citra DPR sudah pudar, bahkan merosot tajam. 

BACA JUGA:PAN dan NasDem Resmi Hentikan Gaji dan Fasilitas Anggota DPR yang Dinonaktifkan

Kenaikan tunjangan perumahan hanyalah pemicu, sementara masalah utamanya adalah publik sudah tidak lagi menganggap DPR sebagai lembaga yang mewakili mereka.

Akibat kekecewaan yang sudah lama menumpuk tersebut, masyarakat menilai bahwa DPR tidak lagi pantas disebut sebagai wakil rakyat, sehingga wajar jika muncul aspirasi ekstrem terkait pembubaran DPR.

Menurut Doktor Sosiologi Jannus TH Siahaan, kondisi ini tidak lagi mengejutkan. Ia menjelaskan bahwa legitimasi para anggota dewan sejak awal sudah bersifat semu atau "fatamorgana".

BACA JUGA:DPR dan Demokrasi Berdampak

Hal tersebut dikarenakan praktik politik di Indonesia lebih didominasi oleh politik uang (vote buying) dan politik dinasti, bukan berdasarkan aspirasi rakyat.

Banyak anggota DPR tidak benar-benar dipilih karena gagasan atau program yang mereka miliki, melainkan karena membeli suara.

Seperti yang dijelaskan Profesor Burhanuddin Muhtadi, dalam buku Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery (2019), bahwa vote buying atau jual beli suara sudah menjadi hal yang biasa dalam pemilu di Indonesia, terutama di era demokrasi pasca-Reformasi.

BACA JUGA:Golkar Nonaktifkan Adies Kadir sebagai Anggota DPR RI

Praktik tersebut tidak hanya sekadar penyimpangan, namun telah menjadi bagian dari mekanisme politik yang mengakar antara kandidat dan pemilih.

Calon anggota legislatif menganggap mustahil menang tanpa politik uang, sehingga mereka mengeluarkan banyak uang untuk membeli suara. Sementara pemilih menganggap uang tersebut sebagai "hak" mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: