Gelombang Demo Agustus Ungkap Legitimasi Semu DPR RI

Gelombang Demo Agustus Ungkap Legitimasi Semu DPR RI

Situasi sidang tahunan DPR MPR 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta. Jumat, 15 Agustus 2025.--

Dengan begitu, hubungan tersebut menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana legitimasi yang didapat para anggota dewan adalah hasil transaksi, bukan dari kepercayaan rakyat.

BACA JUGA:Menyusul NasDem, PAN Nonaktifkan Dua Anggota DPR RI Eko Patrio dan Uya Kuya

Dari kajian tersebut, dapat dipahami bahwa legitimasi politik pada anggota DPR bahkan DPD dan DPRD pun bisa terpilih karena unggul dalam proses beli suara. Bukan dari proses formulasi aspirasi rakyat yang nantinya akan diperjuangkan saat mereka terpilih.

Dalam kondisi seperti ini, wajar bila beberapa bulan setelah dilantik, publik kembali merasa tidak terwakili. Diilustrasikan, apabila pemilih hanya menerima uang sebesar Rp100.000 – Rp200.000 untuk satu suara, maka uang tersebut hanya bertahan sebentar. Begitu juga dengan nilai keterwakilan moralnya sudah selesai setelah uang tersebut habis.

BACA JUGA:Tegas! Partai NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR

Sementara itu, setelah anggota DPR berhasil terpilih dan mejabat, mereka tidak lagi memberi imbalan dari hasil apa pun. Bahkan, mereka bisa “panen” fasilitas, uang, serta kekuasaan selama 5 tahun. Ketimpangan tersebutlah yang menjadikan masyarakat semakin jemu.

Selain praktik politik uang, masalah lain yang memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat adalah adanya praktik dinasti dan korupsi.

Siahaan membandingkan kondisi ini dengan Filipina, seperti yang dibahas oleh Agadave Mina dalam buku The Anatomy of Corruption: Political Dynasties and Their Historical Context in the Philippines (2025). 

BACA JUGA:Fraksi-Fraksi DPR Satu Per Satu Sepakat Evaluasi Tunjangan Anggota Dewan, Ada PDIP Sampai Golkar

Di sana, politik dinasti berjalan seiring dengan korupsi dan vote buying. Keluarga-keluarga kaya yang mendominasi kekuasaan, menggunakan jabatan untuk memperkaya diri, dan sulit digantikan karena kuatnya ikatan kekerabatan. 

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, di mana banyak anggota dewan memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat lain, yang berujung pada korupsi dan pembangunan yang tidak merata.

Budaya patronase dan utang budi juga membuat masyarakat sulit lepas dari dominasi politik uang dan dinasti. Banyak orang tidak lagi melihat bagi-bagi uang saat pemilu sebagai sesuatu yang salah, melainkan sudah dianggap tradisi lima tahunan, lebih tepatnya kebiasaan dalam pemilu.

BACA JUGA:Prabowo Kumpulkan Ketum Parpol di Istana, Isu Tunjangan DPR Jadi Pembahasan

Oleh sebab itu, gelombang penolakan terhadap DPR yang meledak dan menjadi aksi demonstrasi besar bukanlah hal aneh. Itu merupakan konsekuensi logis dari legitimasi semu yang dibangun melalui uang, dinasti politik, dan korupsi.

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa DPR tidak perlu dibubarkan, tetapi harus diberi pelajaran keras oleh rakyat agar benar-benar kembali pada fungsinya sebagai wakil rakyat, bukan sebagai wakil kepentingan pribadi dan kelompok. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: