Budaya Asal Terima: Pembangunan Top-Down yang Melemahkan Kesadaran Kritis

Budaya “asal terima” mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi. Ketika warga sadar bahwa suara mereka “dibeli”, kekecewaan dan apati politik kian merajalela, memunculkan sikap sinis—bahwa politik hanyalah soal uang. --iStockphoto
Sikap apatis ini juga memicu eksklusi politik: mereka yang menolak uang politik atau sembako dipandang naif atau tidak pragmatis, sehingga tekanan sosial memaksa banyak orang untuk “ikut arus”.
Ironisnya, korban utama adalah masyarakat sendiri—yang kehilangan kemampuan menuntut kebijakan berkualitas dan akuntabel.
BACA JUGA: Megawati: Pemilu Luber Jurdil Tak Jadi Kenyataan
Membalikkan Arus Budaya Asal Terima
Pertama, transparansi mutlak diperlukan dalam setiap program bantuan publik. Mulai dari sumber anggaran hingga kriteria penerima, semua harus dapat diakses publik.
Mekanisme pelaporan yang sederhana dan sanksi tegas bagi penyalahgunaan dana akan meminimalisir potensi politik uang. Kampanye “Hajar Serangan Fajar” yang digagas KPK, misalnya, bukan hanya mengedukasi masyarakat untuk menolak suap kecil, tetapi juga mendorong partisipasi warga dalam pengawasan pemilu.
Kedua, pemberdayaan komunitas lokal melalui mekanisme partisipatif—seperti musrenbang desa atau anggaran partisipatif kota—dapat menumbuhkan rasa kepemilikan atas kebijakan.
BACA JUGA: Connie Bakrie Dipanggil Polisi, PDIP Cium Dugaan Kriminalisasi Terkait Kritik Pemilu
Ketika warga terlibat langsung merancang dan mengevaluasi program, relasi kuasa menjadi lebih setara, dan insentif materi kehilangan daya tawarnya.
Beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan anggaran partisipatif dengan hasil positif: peningkatan transparansi, penurunan konflik, dan kebijakan yang lebih sesuai kebutuhan warga.
Ketiga, media—baik tradisional maupun digital—memegang peran penting dalam membongkar praktik politik uang dan mendidik publik.
Jurnalisme investigasi yang mendalam tentang rantai distribusi sembako politik, profil calon yang bersih dari money politics, dan analisis kritis RUU dapat menyeimbangkan narasi viral yang cenderung sensasional.
BACA JUGA: KPK Proses Transaksi Mencurigakan di Pemilu 2024
Masyarakat perlu difasilitasi dengan literasi media untuk menilai kualitas informasi, mengenali disinformasi, dan tidak terjebak dalam konten clickbait.
Akhirnya, perubahan budaya memerlukan waktu dan komitmen kolektif. Budaya asal terima bukan takdir; ia adalah produk pola hubungan kuasa yang dapat diubah melalui reformasi institusional, pendidikan kritis, dan partisipasi aktif.
Jika kita gagal memutus siklus ini, masa depan demokrasi kita akan terus dijual murah. Persetujuan publik dibeli dengan harga jauh lebih rendah daripada masa depan generasi mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: