Seabad Mahathir

ILUSTRASI Seabad Mahathir. Mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad genap berusia 100 tahun pada Kamis, 10 Juli 2025.-Arya Firman untuk Harian Disway-
Pak Harto dan Lee Kuan Yew dari Singapura serta Mahathir menjadi bagian dari era kebangkitan ASEAN. Tiga negarawan itu menjadi ”Three Musketeers” yang disegani seluruh dunia.
Lee Kuan Yew menjadikan Singapura sebagai negara paling makmur dan sejahtera di dunia. Malaysia menjadi negara berkembang yang independen dan berkarakter di bawah Mahathir. Pak Harto membawa Indonesia menjadi negara yang masuk dalam kelompok ”Macan Asia”.
Tiga tokoh itu tidak dikenal sebagai kampiun demokrasi. Lee Kuan Yew ialah diktator yang memberangus kebebasan politik oposisi dan memerintah Singapura dengan tangan besi. Dalam waktu bersamaan, ia memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Pak Harto membawa stabilitas ekonomi dan politik. Membawa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi. Murah sandang, murah pangan, murah papan. Bersamaan dengan itu, Pak Harto memberangus demokrasi.
Mahathir bertangan besi. Ia keras terhadap oposisi dan tidak kenal ampun terhadap penentangnya. Anwar Ibrahim yang menjadi protege –kader yang disiapkannya sebagai pengganti– justru berubah menjadi lawan politik bebuyutan. Anwar dikuyo-kuyo sampai masuk penjara.
Gaya politik Mahathir yang keras tanpa ampun terbukti sukses membawanya menjadi perdana menteri selama 22 tahun, rekor perdana menteri paling lama di Malaysia. Anwar yang ulet dan bermental baja sekarang menjadi perdana menteri setelah pengaruh Mahathir memudar.
Mahathir kritis terhadap bangsa Melayu, etnisnya sendiri. Ia menulis buku The Malay Dilemma (1970). Ia mengkritik bangsa Melayu yang malas dan tidak punya mental berjuang. Ia melihat etnis Melayu tidak akan mampu bersaing dengan etnis lainnya seperti Tiongkok dan India di Malaysia.
Buku itu provokatif dan berbahaya sehingga dilarang beredar sampai 11 tahun. Ketika kemudian Mahathir menjadi perdana menteri, ia mengimplementasikan konsepnya di buku itu menjadi kebijakan politik dan ekonominya. Mahathir mengeluarkan kebijakan ”affirmative action” yang banyak memberikan privilese kepada etnis Melayu.
Etnis Melayu diberi kemudahan dalam menerima kredit bank. Diberi pendidikan gratis dan beasiswa ke luar negeri. Etnis Melayu diangkat menjadi etnis utama yang lebih superior ketimbang Tiongkok, India, dan ras Eropa di Malaysia.
Kebijakan itu dianggap diskriminatif dan rasis. Mahathir tidak peduli. Hasilnya terlihat nyata. Malaysia menyalip Indonesia dan bersaing dengan Singapura.
Lee Kuan Yew (1923–2015) pun menerapkan kebijakan yang sama. Ia memberikan privilese kepada warga Tiongkok yang menjadi mayoritas. Ia memberangus demokrasi dan menghilangkan oposisi. Ia menolak demokrasi liberal dan mempraktikkan Asian value, yang oleh pengkritiknya dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia.
Tapi, Lee dan Mahathir sama-sama berhasil menyejahterakan negara dan bangsanya. Sampai sekarang fondasi dan legasi yang mereka bangun tetap menjadi landasan pembangunan negara.
Indonesia pasca-Soeharto memilih jalan demokrasi liberal. Indonesia menelantarkan demokrasi Pancasila ala Soeharto maupun ”demokrasi terpimpin” versi Soekarno. Hasilnya? Kita ketinggalan jauh dari Malaysia dan Singapura.
Di usianya yang seabad, Mahathir bisa tersenyum melihat masa lalunya. Mungkin ia bertanya: Siapa butuh demokrasi? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: