Purna Migran, Remitansi, dan Tantangan Pemberdayaan: Catatan dari Watulimo, Trenggalek

Penyampaian materi dari Suci selaku Kabid P3A Kabupaten Trenggalek. --Biandro Wisnuyana
Kegiatan ini menjadi ruang penting untuk menggali dinamika hidup para Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan purna migran. --Biandro Wisnuyana
Remitansi yang Belum Berdaya
Remitansi, yang seharusnya menjadi modal pembangunan keluarga dan komunitas, kerap kali tidak dikelola secara optimal. Meski sebagian purna migran telah menggunakan uang kiriman untuk membuka usaha seperti peternakan atau warung, nyatanya masih banyak yang kembali terjebak dalam kemiskinan absolut karena dana remitansi habis tanpa arah yang jelas.
Seperti disampaikan oleh Bu Tina, “PMI menjadi ATM berjalan” istilah yang mencerminkan eksploitasi remitansi oleh keluarga yang tidak memiliki strategi pengelolaan. Tingginya keinginan kembali bekerja di luar negeri, meski sudah punya usaha di kampung, menunjukkan bahwa usaha lokal belum mampu mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga.
BACA JUGA: Resmi Dilantik, Trump Akan Usir Imigran Gelap dan Perangi Kartel
“Gaji bersih yang tinggi” dan “lapangan kerja yang tersedia setiap hari” di luar negeri menjadi alasan utama para purna migran kembali ke jalur migrasi, meskipun mereka sudah memiliki usaha atau tabungan.
Hal ini diperkuat oleh kesaksian Pak Thoyyibun (Sekretaris Desa Karanggandu) yang merupakan mantan pekerja migran. Ia menyebut bahwa bekerja di Malaysia lebih menjanjikan karena lapangan kerja selalu tersedia, tidak seperti di desa yang bersifat musiman.
Dalam dua tahun setelah pulang, tabungan bisa habis karena tidak ada pendapatan tetap di Indonesia. Tujuan purna migran pun bukan untuk kaya raya, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar seperti membangun rumah atau membeli genteng.
Namun, ironisnya, kepemilikan rumah justru sering kali membuat mereka tidak lolos dalam survei bantuan sosial karena dianggap “mampu”.
Pentingnya Revitalisasi Komunitas dan Kebijakan Inklusif
Salah satu solusi yang mengemuka dalam diskusi adalah pentingnya menghidupkan kembali komunitas Bina Keluarga TKI di tingkat desa.
Komunitas ini dapat menjadi wadah untuk menangani isu-isu seperti ketahanan keluarga, pendidikan anak, hingga pemberdayaan ekonomi.
BACA JUGA: Wamen Transmigrasi Terima Kunjungan PATRI: Anak-Anak Transmigran Banyak Yang Berpendidikan Tinggi
Contohnya di Tulungagung, komunitas purna PMI mampu saling bergotong-royong dalam mengakses bantuan pemerintah tanpa mengambilnya sendiri, melainkan dibagikan kepada rekan sesama purna migran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: