Purna Migran, Remitansi, dan Tantangan Pemberdayaan: Catatan dari Watulimo, Trenggalek

Purna Migran, Remitansi, dan Tantangan Pemberdayaan: Catatan dari Watulimo, Trenggalek

Penyampaian materi dari Suci selaku Kabid P3A Kabupaten Trenggalek. --Biandro Wisnuyana

HARIAN DISWAY - Departemen Antropologi Universitas Airlangga menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat program kemitraan di Pondok Prigi, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, pada Jumat, 18 Juli 2025, pekan lalu.

Kegiatan ini menjadi ruang penting untuk menggali dinamika hidup para Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan purna migran, sekaligus merumuskan gagasan pemberdayaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. 

Pada acara tersebut, Departemen Antropologi bekerja sama dengan Dinas P3A Kabupaten Trenggalek untuk bisa mengundang para purna migran yang berjumlah 30 orang untuk bisa berpartisipasi dalam acara yang bertajuk peningkatan kapasitas tersebut. 

BACA JUGA: Khofifah Inginkan Ada Rumah Singgah PMI Asal Jatim

Kegiatan tersebut melibatkan berbagai pihak seperti akademisi, pemerintah kecamatan dan kabupaten, serta para purna PMI.

Diskusi yang berlangsung mencerminkan kenyataan kompleks yang dihadapi para purna migran dalam mengelola hasil kerja mereka di luar negeri yakni remitansi yang tak jarang berujung pada siklus migrasi ulang karena minimnya dukungan struktural di kampung halaman.

Dari Pahlawan Devisa Menjadi Purna Migran Bermasalah

PMI selama ini dijuluki sebagai “pahlawan devisa”, tetapi di sisi lain mereka juga rentan menjadi kelompok yang termarginalkan setelah kembali ke tanah air.

BACA JUGA: Menkum Sahkan Kepengurusan PMI yang Diketuai Jusuf Kalla

Seperti dijelaskan oleh Bu Christina (Plt Kepala Dinas P3A Kabupaten Trenggalek) sebagian purna migran menjadi “purna migran bermasalah”, yakni mereka yang berangkat secara ilegal, menanggung hutang besar dari lembaga keuangan, atau mengalami konflik keluarga akibat dinamika sosial yang berubah selama bekerja di luar negeri. 

Masalah yang muncul juga menyentuh ranah anak-anak para PMI. Istilah “anak ATM” muncul untuk menggambarkan perilaku konsumtif anak-anak dari hasil remitansi orang tuanya.

Seperti membeli kendaraan atau barang mewah tanpa pemahaman nilai uang dan kerja keras. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga PMI, yang sering kali tak memiliki pendampingan dalam pendidikan keuangan keluarga. 

BACA JUGA: Dari Dapur Kecil, Tumbuh Harapan Besar: Mahasiswa KKN Ajak Imigran Belajar Wirausaha lewat Camilan Pastel

Di sisi lain, isu “anak impor” yakni anak-anak hasil pernikahan atau hubungan selama masa migrasi di luar negeri menambah lapisan kompleks pada masalah administrasi sipil dan perlindungan anak. Di beberapa kasus, anak-anak ini bahkan tidak tercatat dalam dokumen resmi sehingga sulit mengakses layanan publik dasar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: