Anak-anak yang Tak Pernah Diberi Waktu Menjadi Anak

Anak-anak yang Tak Pernah Diberi Waktu Menjadi Anak

Anak-anak tidak dilahirkan dalam kekosongan. Mereka dibentuk oleh lingkungan yang kadang lebih gemar menghukum ketimbang mendengar. --iStock

BACA JUGA: Menkomdigi di Peringatan Hari Anak: Platform Digital Tidak Semua Aman untuk Anak-anak

Banyak anak masih terperangkap dalam sistem pendidikan yang kompetitif tapi tidak inklusif. Banyak pula yang tidak pernah tahu bentuk konseling sehat atau cara mengelola emosi, karena tidak pernah diajarkan, bahkan oleh guru dan orang tua mereka sendiri.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang harus bekerja? Data BPS per 2022 menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 800 ribu anak yang terlibat dalam pekerjaan, sebagian besar di sektor informal dan tanpa perlindungan hukum yang layak. Ini bukan soal mencari uang jajan. Ini soal bertahan hidup dalam keluarga miskin yang tidak mendapat jaminan sosial.

Ruang Aman yang Sekadar Retorika


Anak-anak tidak butuh kasihan. Mereka butuh ruang. Butuh kepercayaan. Butuh dipahami sebagai manusia utuh, bukan investasi masa depan atau simbol harapan kosong. --iStock

Program ramah anak hanyalah jargon selama tidak menyentuh akar masalah. Selama sekolah masih menjadi tempat bullying terselubung. Selama kekerasan di rumah dianggap urusan privat. Selama suara anak dianggap tidak sepenting opini orang dewasa.

BACA JUGA: Gentle Parenting, 7 Tip Efektif Pola Asuh untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional dan Perilaku Anak

Lebih dari sekadar “melindungi,” anak-anak butuh sistem yang memanusiakan. Bukan hanya di atas kertas atau dalam bentuk seremoni Hari Anak yang penuh balon dan maskot.

Tapi dalam kebijakan nyata: akses terhadap psikolog sekolah, pendidikan kesehatan reproduksi yang aman, pelatihan emosi bagi orang tua, dan media yang tidak menjadikan anak sekadar alat sensasi.

Menjadi Negara yang Tidak Sekadar Mengklaim Sayang Anak

Menjadi bangsa yang mencintai anak-anak bukan soal berapa kali kita menyanyikan lagu “Kasih Ibu” di acara nasional. Tapi seberapa jauh kita mau meninjau ulang struktur yang menindas mereka secara sistemik. Apakah kita berani mengakui bahwa negara ini belum selesai dengan cara pandangnya terhadap masa kanak-kanak?

BACA JUGA: Keceriaan Anak-anak Himatun Ayat Mewarnai Bersama Faber-Castell dan Wyndham Surabaya

Anak-anak tidak butuh kasihan. Mereka butuh ruang. Butuh kepercayaan. Butuh dipahami sebagai manusia utuh, bukan investasi masa depan atau simbol harapan kosong.

Kita selalu bangga menyebut anak-anak sebagai “penerus bangsa.” Tapi jangan lupa, mereka tak akan bisa meneruskan apa pun jika hari ini saja tak diberi hak untuk sekadar menjadi anak. (*)

*) Mahasiswa magang dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: