Elitisme Diplomasi dan Partisipasi Akar Rumput

ILUSTRASI Elitisme Diplomasi dan Partisipasi Akar Rumput.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Model kebijakan yang sentralistis dan top-down membuat partisipasi rakyat hanya hadir sebatas simbolisme yang hampa.
Keterlibatan organisasi pemuda dan masyarakat sipil dalam isu-isu kemanusiaan dan strategis seperti Palestina atau krisis iklim dan pangan sering kali sebatas seremoni tanpa ruang substantif untuk memengaruhi arah kebijakan.
Itu adalah ironi di tengah bonus demografi Indonesia, ketika generasi muda dengan kecerdasan dan kapasitas intelektual luar biasa justru dijadikan ornamen dalam perhelatan diplomasi.
MEMBANGUN DIPLOMASI YANG BERAKAR
Sudah saatnya diplomasi Indonesia melepaskan belenggu eksklusivitasnya. Bukan untuk menanggalkan protokol yang memang menjadi status quo diplomasi, melainkan untuk membumikan prosesnya agar lebih partisipatif dan akomodatif terhadap suara rakyat.
Langkah pertama adalah dengan membuka akses yang lebih luas bagi generasi muda yang tidak hanya dari sisi jumlah, tetapi juga kualitas partisipasinya.
Kementerian Luar Negeri, kedutaan besar, dan institusi terkait perlu membuka ruang kolaborasi yang nyata, termasuk dalam hal perumusan kebijakan dan rencana strategis yang selama ini hanya digarap dalam lingkaran tertutup.
Isu-isu global hari ini tidak lagi berkutat pada tantangan keamanan tradisional seperti perang dingin antarnegara adidaya atau perdebatan hukum internasional yang kehilangan taringnya.
Dunia kini dihadapkan pada tantangan nontradisional seperti krisis pangan, energi, dan lingkungan yang membutuhkan perspektif teknokratis dan multidisiplin.
Oleh karena itu, diplomasi Indonesia harus membuka diri terhadap kolaborasi dengan para ahli lingkungan, teknologi pangan, budayawan, dan pelaku usaha yang memahami persoalan dari hulu ke hilir.
Dengan demikian, diplomasi tidak hanya dilihat dari perspektif keuntungan dan kekuasaan, tapi juga dari perspektif konservasi.
Memperkuat jejaring masyarakat sipil menjadi langkah yang tidak terhindarkan.
Organisasi seperti Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Indonesian Youth Diplomacy (IYD), yang telah merintis inklusivitas diplomasi di kalangan pemuda, perlu didorong lebih jauh agar tidak hanya menjadi pelengkap acara, tetapi aktor substansial yang dilibatkan sejak tahap perumusan kebijakan.
Lebih dari itu, literasi global harus ditanamkan sejak jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD-SMP). Pelajaran kewarganegaraan dan sejarah kontemporer perlu dihidupkan kembali dengan memasukkan isu-isu internasional agar pelajar Indonesia tidak terasing di negeri sendiri ketika bicara tentang dunia.
Diplomasi yang sehat adalah diplomasi yang sudi mendengarkan. Tidak semua orang harus menjadi diplomat, tetapi setiap warga negara berhak memiliki ruang untuk didengar aspirasinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: