Elitisme Diplomasi dan Partisipasi Akar Rumput

Elitisme Diplomasi dan Partisipasi Akar Rumput

ILUSTRASI Elitisme Diplomasi dan Partisipasi Akar Rumput.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Diplomasi Peci Hitam dan Warisan Kebangsaan

Mereka tentu memiliki kapasitas dan legitimasi keilmuan, tetapi dominasi yang terlalu pekat menciptakan citra bahwa diplomasi hanyalah milik mereka yang fasih berbicara dalam bahasa protokoler dan memahami tata krama birokrasi rezim politik domestik maupun internasional. 

Akibatnya, diplomasi menjadi semacam altar eksklusif yang sulit disentuh suara-suara dari lapisan akar rumput. Proses perumusan kebijakan luar negeri pun kerap terjebak dalam logika geopolitik dan kalkulasi ekonomi makro. 

Tidak jarang perumusan kebijakan abai terhadap realitas riil yang dihadapi masyarakat di pelosok desa. Orientasi kebijakan yang dibangun secara top-down menutup rapat partisipasi masyarakat dalam keputusan-keputusan yang kelak akan mereka tanggung dampaknya.

BACA JUGA:Bahasa, Diplomasi, dan Identitas Nasional

BACA JUGA:Ekspos Karya-Karya UMKM: Gastrodiplomasi Cairkan Hubungan Antarbangsa

Kita bisa melihat hal itu dalam perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada masa Presiden Jokowi. Kala itu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi garda terdepan perekonomian justru minim dilibatkan dalam proses konsultasi. 

Padahal, merekalah yang paling rentan terhadap gelombang liberalisasi perdagangan. 

Hal serupa terulang dalam isu diplomasi pangan di era Presiden Prabowo saat ini. Kebijakan impor beras dan jagung kerap diputuskan di ruang-ruang rapat yang jauh dari hamparan sawah petani, tanpa dialog bermakna yang mengedepankan aspirasi mereka yang akan menanggung risiko fluktuasi harga.

BACA JUGA:Diplomasi Bunga dan Kedamaian Semenanjung Korea

BACA JUGA:Kota, Pilar Diplomasi Masa Depan

AKAR RUMPUT YANG TERPINGGIRKAN

Keterputusan antara diplomasi dan masyarakat itulah yang membuat isu-isu internasional terasa asing di benak rakyat. 

Padahal, dampaknya begitu nyata dan kasatmata seperti nilai tukar rupiah yang terjun bebas, harga sembako yang melonjak akibat krisis global, hingga buruh migran yang nasibnya terkatung-katung tanpa perlindungan memadai. 

Diplomasi bukanlah ritual di menara gading yang jauh dari hiruk pikuk rakyat, melainkan denyut nadi yang menentukan nasib dapur-dapur kecil di kampung-kampung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: