Diskusi Publik ARTSUBS 2025, Pendidikan Seni Rupa Indonesia dan Industri Kreatif

Diskusi Publik ARTSUBS 2025, Pendidikan Seni Rupa Indonesia dan Industri Kreatif

Diskusi Publik ARTSUBS 2025 bertema Pendidikan Tinggi Seni Rupa Indonesia dalam Lanskap Industri Kreatif: Potensi dan Tantangannya di Balai Pemuda Surabaya, pada Rabu, 13 Agustus 2025. -Agustinus Fransisco-Harian Disway

Dana penelitian rata-rata per dosen hanya Rp6 juta per tahun, jumlah yang jauh dari cukup untuk riset serius. Akibatnya, penelitian menjadi formalitas, bukan inovasi.

Kenny Hartanto dari Ubaya menambahkan, kurikulum yang kuno memperparah masalah. Mahasiswa masih diajari estetika, padahal dunia sudah memasuki era "problem estetik".

BACA JUGA: ARTSUBS 2025 di Surabaya, Pameran Seni Kontemporer dan Ruang Refleksi Dunia Pasca Industri

"Kita harus ajak mahasiswa keluar kampus, ke residensi, ke pameran, agar wawasannya terbuka," tegasnya.

Ia mencontohkan ajakan ke Kampung Pelampitan, di mana seniman merespons realitas sosial melalui karya, bukan sekadar membuat lukisan indah.

Di sisi lain, Djuli Djatiprambudi dari UNESA mengungkap ironi lain: lab material untuk seni rupa nyaris tidak ada. "Seni rupa itu material. Tapi di banyak kampus, tidak ada laboratorium khusus untuk kaca, keramik, atau logam," keluhnya.

BACA JUGA: ARTSUBS 2025 Siap Guncang Surabaya, Ratusan Seniman Sajikan Ragam Material dan Teknologi Baru

Ia menyayangkan hilangnya mata kuliah "bahan dan alat" akibat kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). "Yang ada hanya digital, padahal kekayaan material Indonesia luar biasa," sambung Mufi.

Lebih dari itu, sistem pengakuan terhadap karya seni juga bermasalah. Dosen seni harus naik pangkat melalui jurnal ilmiah, bukan melalui karya yang diakui di kancah internasional.

Meski demikian, masih ada harapan. Mufi menjelaskan bahwa STKW sengaja tidak membagi mahasiswa ke dalam jurusan sempit. "Kami beri mereka semua: lukis, patung, grafis, keramik. Karena kami minoritas, kami harus lebih kuat," terangnya. 

BACA JUGA:ARTSUBS 2025, Merayakan Material Ways di Tengah Ledakan Konsumsi dan Teknologi

Strategi itu membuat lulusan mereka lebih fleksibel dan siap bertarung di dunia nyata. Diskusi itu mengungkap satu pesan utama: pendidikan seni rupa di Indonesia harus berubah.

Itu diperkuat oleh gagasan Asmudjo Jono Irianto, moderator diskusi. Seniman dan kurator seni lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan pengetahuannya seputar seni rupa. 

"Seni rupa punya banyak jenis. Ada seni rupa dalam masyarakat urban yang modern. Ada juga seni rupa yang lebih industrialis," jelas Asmudjo. 

Ia menambahkan bahwa kurikulum seni rupa harus mengenal dasar seni rupa lebih dulu. "Jangan terburu-buru bilang anti estetik. Saya sering bilang ke mahasiswa. 'Enggak mungkin kuliah anti estetik, harusnya problem estetik. Problem sejarah seni,'" sambungnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: