Pengungsi Tibet yang Merindukan Kampung Halaman Mereka, Diterima tapi Digantung

DUA TURIS mengunjungi Istana Potala di Lhasa, wilayah otonomi Tibet. Kawasan yang masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO itu terus dikelola sebagai tempat tujuan wisata oleh pemerintah Tiongkok.-HECTOR RETAMAL-AFP-
Sejarah Tibet memang penuh pergolakan. Negeri itu terpontang-panting dari satu ’’pemilik’’ ke pemilik lainnya. Sampai akhirnya Negeri Atap Dunia itu menjadi wilayah otonomi khusus Tiongkok sejak 1951. Orang-orang asli Tibet pun banyak yang menjadi pengungsi. Bahkan lahir di tanah asing.
’’KETIKA kami masih sekolah, guru-guru kami sering mengatakan bahwa ada huruf di dahi kami,’’ kata Tenzin Tsundue, penulis, dan aktivis Tibet yang ditulis BBC pada 12 Agustus 2025.
Dalam bahasa Indonesia, huruf di dahi itu bisa saja: P. Artinya: Pengungsi.
Ya, Tsundue adalah satu di antara lebih dari 70 ribu orang Tibet yang melarikan diri pada 1959. Mereka tidak mau wilayahnya menjadi bagian dari Tiongkok. Pemberontakan pun gagal.
BACA JUGA:Gempa Dahsyat Tibet Tewaskan 95 Orang, Hancurkan Banyak Bangunan
BACA JUGA:Pesona Barkhor Bazaar, Tibet, Meneguk Harmoni dalam Secangkir Teh
Kala itu, para pengungsi menempuh jalur berbahaya melintasi pegunungan Himalaya. Mengikui jejak pemimpin spiritual mereka: Dalai Lama. Menuju tanah asing: India.
Secara geografis, spiritual, dan historis, India memang sangat dekat. Dan India membuka pintu bukan semata karena welas asih. Tapi, ada benang merah yang menghubungkan dua bangsa tersebut.
Meski begitu, diterima bukan berarti langsung menjadi bagian dari India. Pengungsi Tibet memang menemukan perlindungan. Tetapi, status hukum mereka menggantung. Hak-hak yang diberikan pun terbatas. Tak bisa ikut dalam pemilu. Juga tak boleh punya properti.
Seperti kata Tsundue, status pengungsi itu melekat. Lahir dan besar di India tak serta merta menjadikan mereka orang India.
DELEGASI TIBET menghadiri Kongres Rakyat Nasional Tiongkok di Beijing, 6 Maret 2025. Sebagai bagian dari Tiongkok, warga Tibet pun memiliki perwakilan di kongres.-GREG BAKER-AFP-
Di sana, kehidupan orang Tibet bergantung pada IC. Itulah kartu identitas yang harus diperbarui setiap 5 tahun. Tanpa lembar dokumen itu, mereka tak lagi diakui sebagai orang Tibet. Otomatis, izin tinggal di India pun lenyap.
Ironisnya. Untuk mengajukan paspor yang merupakan salah satu persyaratan untuk melamar kerja, mereka harus menyerahkan IC tersebut. Untuk ke luar negeri pun sama peliknya. Menunjukkan IC semata tak cukup. Sebab, seringkali, petugas imigrasi tak mengakui IC sebagai dokumen sah.
Lantas, bagaimana mereka bisa bertahan hidup? Bagaimana nasib mereka yang ingin pulang untuk menemui keluarga di Tibet, orang-orang tercinta yang tak sempat melarikan diri?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: