Pengungsi Tibet yang Merindukan Kampung Halaman Mereka, Diterima tapi Digantung

DUA TURIS mengunjungi Istana Potala di Lhasa, wilayah otonomi Tibet. Kawasan yang masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO itu terus dikelola sebagai tempat tujuan wisata oleh pemerintah Tiongkok.-HECTOR RETAMAL-AFP-
Dawa Sangbo adalah salah satu dari mereka. Saat tiba di India pada 1970, ia tak membawa apa-apa. Dua belas tahun lamanya ia tinggal di tenda lusuh. Menghidupi diri dengan menjual rempah dari desa ke desa di sekitar Dharamshala.
BACA JUGA:Istana Potala di Tibet, Tiongkok, Kembali Dibuka untuk Wisata
BACA JUGA:Enes Kanter Serukan Kemerdekaan Tibet, Tiongkok Blokir Boston Celtics
Barulah di usia senjanya, Sangbo tinggal bersama istri dan anaknya di lingkungan yang lebih layak, dikelilingi komunitas sesama pengungsi Tibet. Meski demikian, ia mengaku bahwa dirinya tetap rindu kampung halaman.
Pengungsi lainnya juga merasakan hal yang sama. Pasang Gyalpo mengatakan kepada BBC, “Pada akhirnya, rumah tetaplah rumah.”
Kisah Gyalpo lebih mengoyak hati. Pasalnya, ia tiba seorang diri di India pada tahun 1990. Keluarganya masih bertahan di tanah kelahiran. Tanpa paspor, tak ada jalur resmi yang bisa ia tempuh. Satu-satunya cara yang tersisa adalah menyuap penjaga perbatasan Nepal, menyelinap masuk ke Tibet, dan mencoba membawa keluarganya keluar.
Namun, upayanya gagal. Ia terpaksa kembali ke India dengan tangan hampa. Harapan untuk menyatukan keluarganya kembali pupus di perbatasan. Polisi Tiongkok lebih dulu melacak keberadaannya dan memburunya.
Bagi generasi muda Tibet seperti Tsundue, yang lahir dan besar di India, luka yang mereka dapatkan sedikit berbeda.
DI PENGUNGSIAN, warga menarikan Lhakar Gorshey, tari tradisional Tibet, untuk memperingati hari lahir Dalai Lama ke-90. Acara itu diadakan di McLeod Ganj, Dharamsala, India, 6 Juli 2025.-NIHARIKA KULKARNI-AFP-
“Trauma kami bukan karena kehilangan tanah,” ujarnya lirih. “Melainkan karena kami tidak dilahirkan di Tibet. Tidak pula punya hak untuk tinggal di Tibet. Ada rasa kehilangan yang dalam, seolah sesuatu yang paling mendasar dari tanah, budaya, dan bahasa kami telah dirampas.”
Peneliti wilayah Tibet dan Himalaya Lobsang Yangtso sependapat. Meski telah menghabiskan seluruh hidupnya di India, ia tetap merasa tak memiliki tempat berpulang. “Sakit rasanya,” katanya pelan. “Aku tinggal di sini seumur hidup, tapi tetap merasa seperti tak punya rumah.”
Kerinduan akan tanah kelahiran membuat banyak pengungsi Tibet mencari jalan keluar lain. Dan dalam beberapa tahun terakhir, ribuan dari mereka memilih pindah ke negara-negara Barat dengan menggunakan IC. Amerika Serikat dan Kanada menjadi tujuan paling populer.
“Dolar dan Euro lebih bernilai daripada yang tersedia di sini,” kata Presiden CTA (Pemerintahan Tibet Pusat) Penpa Tsering kepada BBC.
Bagi sebagian orang mungkin begitu. Namun ada pula yang seperti Thupten Wangchuk. Dirinya pergi ke negara Barat untuk memperoleh kewarganegaraan dan visa demi satu hal sederhana, yakni kebebasan untuk bertemu kembali dengan orang tuanya di Tibet setelah terpisah hampir 30 tahun.
Pejabat CTA Kunchok Migmar menuturkan bahwa apabila kebebasan terjamin di Tibet, tak seorang pun akan menolak pulang. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: