Pajak Mencekik Picu Pemberontakan

ILUSTRASI Pajak Mencekik Picu Pemberontakan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Keluar dari area pertanian kena pajak, keluar dari desa kena pajak, masuk wilayah desa lain kena pajak. Begitu terus-menerus sampai masuk ke pasar kota.
Bukannya dapat untung, para petani bangkrut. Harga-harga naik mencekik. Para penguasa dan pangeran Jawa berfoya-foya, mabuk-mabukan setiap hari.
Sementara itu, rakyat kelaparan sampai mati. Pangeran Diponegoro melabrak istana dan menampar muka Patih Danureja dengan selop.
Sejak itu Pangeran Diponegoro meninggalkan istana dan memimpin pertempuran melawan Belanda. Perlawanan yang dipimpin Diponegoro berlangsung selama lima tahun sehingga membuat Belanda bangkrut.
Segala muslihat dilakukan untuk menghentikan perang. Diponegoro yang sudah lelah ditipu dan dijebak dengan perundingan palsu. Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Makassar sampai wafat.
Pemberontakan petani di Banten pada 1800-an juga dipicu persoalan yang sama. Penarikan pajak yang brutal menjadi puncak pemicu pemberontakan.
Selain itu, konflik tanah, pemerasan tenaga kerja, wabah penyakit, dan bencana alam menjadi faktor yang mempercepat pecahnya pemberontakan.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 mengungkapkan bahwa pengutipan pajak pasar pada 1878 merupakan salah satu yang memberatkan penduduk. Penerapan pajak dilakukan sangat keras.
Kemarahan penduduk terhadap pungutan pajak menjadi bertambah karena harga-harga naik dan harga hasil pertanian rendah. Rakyat Banten kemudian menolak membayar pajak.
Gerakan itu berkembang menjadi huru-hara dengan menyerang para pemungut pajak. Pemberontakan petani Banten menjadi salah satu perang paling besar setelah Perang Jawa.
Pemberontakan yang sama terjadi di Karesidenan Madiun pada 1885. Para pemberontak menyerang orang-orang Belanda yang menjadi penyebab tingginya pungutan pajak tanah. Puluhan pemberontakan besar dan kecil, yang terjadi di masa penjajahan, rata-rata dipicu penarikan pajak yang mencekik.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat Pati terhadap Bupati Sudewo adalah sebuah throwback dari peristiwa masa lalu. Pemberontakan Pati bersifat lokal, tetapi skalanya nasional.
Kemarahan rakyat Pati adalah akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan lokal dan nasional. Pemerintahan Presiden Prabowo harus mengantisipasi kemarahan rakyat itu sebelum terlambat. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: