STKW dan Dua Dekade Perjuangan Meraih Status Negeri (6): Dedikasi Tanpa Henti Nuzurlis Koto dan Agung Tato Suryanto

STKW dan Dua Dekade Perjuangan Meraih Status Negeri (6): Dedikasi Tanpa Henti Nuzurlis Koto dan Agung Tato Suryanto

Agung Tato Suryanto, dosen STKW sekaligus perupa senior mengguratkan warna di kanvasnya, dalam studio seni rupa di kampus tersebut.-Giustino Obert Lisangan-HARIAN DISWAY

Tahun 1966, ia merantau ke Surabaya. Meski sempat gagal masuk ISI Yogyakarta, Nuzurlis tak menyerah. Ia menempuh pendidikan di IKIP Surabaya dan Akademi Seni Rupa Surabaya (AKSERA). Hingga akhirnya memilih fokus ke dunia seni murni.

Perjalanan panjangnya sebagai seniman keramik ditempuh secara otodidak. Selama 12 tahun, ia rutin bolak-balik Surabaya–Malang untuk belajar langsung dari pengrajin gerabah. Dari situlah lahir karya-karya monumental. 

BACA JUGA:STKW dan Dua Dekade Perjuangan Meraih Status Negeri (2): Jumlah Mahasiswa Anjlok

Seperti Botol Pipih, Botol Berkarat (2000), hingga Pipih Mengalir (2007). Pameran tunggalnya, Aku dan Botol (2012), mempertegas identitas artistiknya. Ia menyamakan botol dengan manusia. Sifatnya monoton, terbatas, namun rumit.

Sejak 1986, Nuzurlis menjadi dosen di STKW. Meski awalnya enggan, ia akhirnya menerima dengan satu syarat: mengajar penuh 24 jam.

Hingga kini, ia masih konsisten berkarya. Juga sekaligus mengkritisi kurangnya perhatian pemerintah terkait terhadap pendidikan seni rupa di Jawa Timur.


Nuzurlis Koto, seniman asal Bukittinggi. Pada usianya yang ke-79 tahun, ia masih aktif mengajar di STKW dan berkarya seni.-Giustino Obert Lisangan-HARIAN DISWAY

BACA JUGA:STKW dan Dua Dekade Perjuangan Meraih Status Negeri (1): Terganjal Rekomendasi Gubernur

Agung “Tato” Suryanto

Berbeda dengan Nuzurlis, perjalanan Agung “Tato” Suryanto bermula dari dunia arsitektur. Lulusan Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya itu merasa bidangnya terlalu kaku dan dua dimensi. 

Tahun 1998, ia masuk STKW untuk mendalami seni rupa, meski kala itu jurusan patung belum ada. Ia tetap bertahan. Menekuni berbagai bidang hingga menemukan passion sejatinya: seni patung.

Proses kuliahnya terbilang panjang. Hingga 10 tahun. Karena banyak waktunya tersita untuk lomba dan pameran. Namun, dari situlah prestasi demi prestasi diraih. Tahun 2002, ia meraih juara kedua Indofood Art Award. 

BACA JUGA:STKW Surabaya, Kampus Seni, Prosesi Wisudanya pun Nyeni

Tahun 2008, ia mendapat “Penghargaan Khusus” di Jakarta Art Award (JAA), dan dua tahun kemudian kembali terpilih sebagai salah satu dari delapan pemenang ajang internasional itu. Yakni dengan karyanya berjudul City of Tomorrow. Penghargaan tersebut membawanya hingga ke Wendt Gallery, New York.

Prestasi lain termasuk finalis Philip Morris Awards (2000), juara kedua lomba patung outdoor di Pandaan (2010), hingga penghargaan Seniman Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. “Saya ingin membuktikan kalau Arek Suroboyo bisa unjuk gigi di pentas internasional,” katanya.

Agung mulai mengajar di STKW pada 2008, bahkan sebelum lulus. Karena saat itu kampus kekurangan dosen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway