Kemerdekaan dan Keadilan Fiskal

ILUSTRASI Kemerdekaan dan Keadilan Fiskal.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Seolah tidak puas di sana, Menkeu Sri Mulyani menyamakan kewajiban pajak dengan zakat, infak, dan sedekah. Pernyataan itu membuat telinga masyarakat panas. Sebab, zakat hanya 2,5 persen, sedangkan pajak 11 persen. Kalau boleh bicara, ”agama saja tidak memberatkan, kenapa negara memberatkan rakyatnya.”
Apakah itu wajah keadilan fiskal yang dijanjikan kemerdekaan? Rakyat dipaksa taat, sedangkan elite bebas berpesta. Seolah gaji mereka tidak cukup untuk mengisi kantong. Dampaknya, masyarakat selalu diperas untuk memperkaya pejabat negara.
BELANJA NEGARA: UNTUK RAKYAT ATAU UNTUK ELITE?
Masalah keadilan fiskal tidak berhenti di pungutan pajak, tetapi juga bagaimana negara menggunakan uang rakyat. Anggaran negara seharusnya diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, pemberdayaan desa, dan pengentasan kemiskinan.
Namun, faktanya sering kali berbeda. Warga yang kurang mampu masih sulit mengakses kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Siapa sebenarnya yang tidak taat kepada negara?
Belanja negara lebih banyak diarahkan kepada proyek-proyek besar yang penuh gemerlap seperti infrastruktur megah di kota-kota besar atau proyek prestisius yang lebih menguntungkan kelompok tertentu ketimbang rakyat banyak.
Utang luar negeri terus menumpuk untuk membiayai proyek-proyek itu, sedangkan fasilitas dasar bagi rakyat di pelosok masih jauh dari memadai. Sekolah rusak, akses kesehatan minim, dan subsidi untuk rakyat miskin sering dipangkas dengan alasan ”efisiensi anggaran”.
Rakyat kecil pun bertanya: untuk siapa sebenarnya uang pajak itu? Ketika jalan tol dibangun, siapa yang paling menikmati? Apakah petani kecil yang justru tanahnya digusur atau korporasi yang meraup untung dari investasi properti dan kendaraan?
Salah satu contoh paling nyata ketidakadilan fiskal adalah program tax amnesty yang dijalankan beberapa tahun lalu. Pemerintah dengan bangga menyebutnya sebagai keberhasilan dalam meningkatkan penerimaan negara.
Tetapi, di balik itu ada ironi besar: rakyat kecil yang telat bayar pajak tetap ditagih dengan ancaman sanksi, sedangkan pengemplang pajak kelas kakap justru diberi ”pengampunan” hanya dengan membayar denda ringan.
Pesan yang muncul jelas: jika Anda rakyat kecil, jangan coba-coba telat membayar pajak. Tapi, jika Anda kaya raya dan sudah bertahun-tahun mengemplang pajak, negara akan memberikan jalan damai. Bukankah itu bentuk nyata dari kemerdekaan yang pincang?
KEMERDEKAAN YANG DIPERDAGANGKAN
Kemerdekaan yang seharusnya berarti kedaulatan rakyat justru terasa seperti diperjualbelikan. Rakyat disuruh berteriak ”merdeka” setiap Agustus, tetapi di bulan-bulan lain mereka tetap terjajah oleh kebijakan fiskal yang tidak adil.
Mereka harus bekerja keras hanya untuk menyetor pajak yang digunakan tidak untuk kesejahteraan mereka, tetapi untuk menopang kepentingan elite politik dan ekonomi.
Kita melihat ironi besar: di atas panggung, pejabat berbicara tentang keadilan sosial. Namun, di bawah meja, mereka bernegosiasi dengan oligarki. Kemerdekaan seakan hanya simbol upacara, sedangkan substansinya dirampas sistem ekonomi yang timpang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: