Polemik Fitur Pengenalan Wajah Massal di Inggris: Banyak Orang Merasa ’’Jadi Tersangka’’

Polemik Fitur Pengenalan Wajah Massal di Inggris: Banyak Orang Merasa ’’Jadi Tersangka’’

WARGA NONGKRONG di sisi selatan Sungai Thames, London, 14 Agustus 2025. secara berkala, mereka diawasi kamera dengan fitur pengenalan wajah. -HENRY NICHOLLS-AFP-

Masalahnya: hampir tak ada informasi terbuka soal bagaimana data itu dipakai.

“Ini mengubah apa artinya hidup di kota. Kita kehilangan kemungkinan untuk hidup anonim,” ujar Daragh Murray, dosen hukum HAM di Queen Mary University, London. “Implikasinya besar. Termasuk bagi aksi protes atau partisipasi politik dan budaya.”

Sering kali konsumen tak sadar wajah mereka dipindai dan dianalisis di data profil.

“Saya kaget sekali,” kata Abigail Bevon, ilmuwan forensik 26 tahun, saat ditemui di pintu masuk toko London yang memakai Facewatch. “Teknologi ini mungkin berguna untuk polisi, tapi untuk ritel rasanya terlalu invasif.”

Uni Eropa justru memilih jalan sebaliknya. Sejak Februari lalu, undang-undang AI di blok itu melarang penggunaan pengenalan wajah real time. Kecuali untuk kasus luar biasa seperti kontra-terorisme.

“Di negara demokratis lain tak ada yang seperti ini,’’ ujar Vincent.

Menteri Dalam Negeri Yvette Cooper mengaku sedang menyiapkan kerangka hukum untuk mengatur penggunaannya. Fokusnya pada kejahatan serius. Namun bulan ini justru kementeriannya memberi lampu hijau pemakaian di tujuh wilayah baru. Bahkan, bulan depan, kamera permanen pertama akan dipasang di Croydon, London Selatan.

Polisi berusaha meyakinkan publik bahwa ada “safeguard”. Data biometrik orang yang bukan tersangka dihapus, dan kamera dinonaktifkan jika petugas tidak berada di tempat. Artinya, polisi berdalih bahwa teknologi itu untuk melindungi warga.

Tetapi, pekan lalu, regulator HAM Inggris menyatakan kebijakan Metropolitan Police itu inkonstitusional. Tak sesuai aturan hak asasi.

Kritik semakin keras menjelang Notting Hill Carnival. Sebelas organisasi, termasuk Human Rights Watch, menulis surat ke Kepala Polisi London agar teknologi itu tidak digunakan di festival tersebut. Mereka menuduh polisi membidik komunitas Afro-Karibia secara tidak adil. Mereka juga menyoroti potensi bias rasial dalam algoritma AI.

Shaun Thompson, pria kulit hitam 39 tahun asal London, mengaku pernah ditangkap karena salah identifikasi kamera. Ia kini menggugat polisi.

Harus diakui, polemik pengenalan wajah di Inggris kini berputar pada dua kutub: efektivitas polisi versus hak privasi publik.

Rowley menekankan sisi keamanan. Lebih dari seribu kasus kriminal diungkap sejak awal tahun. Namun kelompok HAM melihat risiko lain: masyarakat kehilangan ruang anonim, kebebasan sipil tergerus, dan potensi diskriminasi makin nyata.

Di Eropa, Inggris berjalan sendiri. Seperti eksperimen besar yang dipantau dunia: apakah keamanan bisa dibeli dengan harga kebebasan…? (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: