Dari Pena ke Postingan: Nasionalisme dalam Bayang-Bayang Simulasi

ILUSTRASI Dari Pena ke Postingan: Nasionalisme dalam Bayang-Bayang Simulasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Peran Media Digital dalam Membangun Rasa Nasionalisme dan Bela Negara
BACA JUGA:Nasionalisme Ekonomi untuk Indonesia Maju 2045
Pertama, tanda mencerminkan realitas. Misalnya, bendera sebagai simbol sebuah bangsa.
Kedua, tanda mulai menutupi realitas di baliknya –mencintai bendera diasumsikan identik dengan mencintai tanah air.
Ketiga, tanda menjadi simulakra, yaitu tanda terlepas dari realitas aslinya, tetapi tetap diperlakukan seolah-olah nyata.
Pada titik itulah nasionalisme digital berada. Emoji bendera di bio Instagram atau profil WhatsApp dapat memberikan kesan kebanggaan mendalam meski tidak selalu terkait dengan pengalaman nyata membangun bangsa.
BACA JUGA:Nasionalisme Baru
BACA JUGA:Nasionalisme sebagai Kunci Pertumbuhan
Ketika timnas PSSI meraih kemenangan internasional, dunia maya penuh euforia: bendera Merah Putih memenuhi lini masa, meme kemenangan disebarluaskan, mengubah profil akun bernuansa nasionalis.
Intensitas simbol-simbol mampu menciptakan emosi yang sensasional, seakan semua orang sedang di stadion. Simbol-simbol menciptakan rasa kebersamaan meski orang yang membagikan mungkin sedang duduk di kamar memainkan ponselnya.
Itulah hiperrealitas: kondisi ketika representasi tampak lebih nyata, intens, bahkan lebih berpengaruh daripada kenyataan itu sendiri. Nasionalisme pun menjadi hasil dari simulasi –pengalaman bersama yang lahir dari representasi, bukan partisipasi fisik.
Kita kehilangan kemampuan membedakan antara realitas dan representasi. Nasionalisme digital terasa hidup, tetapi apakah nyata? Apakah cukup mencintai tanah air lewat simbol digital ataukah perlu diwujudkan dalam perilaku sehari-hari?
Rasanya tidak adil jika nasionalisme digital langsung dicap palsu. Dalam kerangka hiperrealitas, tanda memiliki realitasnya sendiri. Tagar, meme, dan simbol digital memang tidak menggantikan kerja nyata, tetapi dapat membangkitkan emosi, membentuk kesadaran, dan memobilisasi aksi.
Gerakan solidaritas online kerap berhasil menginspirasi aksi nyata. Euforia menumbuhkan rasa percaya diri kolektif. Namun, ketika semua energi berhenti pada level tanda, solidaritas hanya bertahan selama topik itu viral.
Paradoks nasionalisme digital terletak pada sifatnya yang bisa menjadi energi pemersatu sekaligus jebakan tanda yang kosong. Di era banjir simbol, tugas utama kita adalah memastikan simbol-simbol itu tetap berakar pada realitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: