Lipstick Effect, Fenomena Konsumsi Kecil di Tengah Krisis Ekonomi

Lipstick Effect merupakan fenomena cenderung membeli barang-barang kecil yang terjangkau saat kondisi ekonomi sedang lesu--freepik.com
Dalam konteks sosial, fenomena itu kerap dikaitkan dengan FOMO (Fear of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once).
Itu merupakan dorongan untuk tidak ketinggalan tren atau menikmati hidup. Jadi, meskipun kondisi keuangan terbatas, banyak orang tergoda untuk tetap aktif berbelanja.
BACA JUGA:Live Commerce, Belanja Interaktif yang Semakin Diminati
Namun, para ahli memperingatkan, dorongan itu bisa berujung pada kebiasaan konsumtif yang merugikan. Terutama jika dilakukan tanpa memperhitungkan kondisi finansial pribadi.
Bagi sektor bisnis, fenomena itu justru membuka peluang. Berdasarkan laporan Euromonitor International (2024), pasar kosmetik di Indonesia tumbuh hingga 8 persen per tahun meski dihadapkan pada tekanan ekonomi.
Fakta itu menunjukkan, di tengah krisis sekalipun, produk kosmetik dan barang kecil lainnya tetap memiliki pasar yang kuat.
BACA JUGA:Alasan Di Balik Keengganan Membawa Tas Belanja Sendiri
Pembelian barang-barang kecil dan terjangkau dalam krisis ekonomi mampu memberikan rasa puas dan bahagia --freepik.com
Namun, di balik peluang tersebut, terdapat risiko yang mengintai konsumen. Kebiasaan membeli barang untuk kepuasan sesaat bisa memicu belanja impulsif, stres baru, bahkan jeratan utang.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sepanjang 2023 terdapat 10,91 juta penerima pinjaman online (pinjol) berusia 19-34 tahun dengan total nilai pinjaman mencapai Rp26,87 triliun.
Angka itu menunjukkan bagaimana tekanan ekonomi mendorong sebagian generasi muda mencari pelampiasan konsumsi melalui pinjaman.
BACA JUGA:Belanja Online Kini Makin Mudah dengan Tiktok Shop, Yuk Pelajari Fiturnya
Fenomena lipstick effect membuktikan bahwa meski krisis ekonomi menekan, perilaku konsumsi tetap berjalan.
Produk kecil yang terjangkau menjadi alternatif pelampiasan emosional. Namun, para pakar mengingatkan, masyarakat perlu menetapkan batas yang jelas antara kebutuhan nyata dan belanja impulsif. Supaya tidak terjebak pada masalah finansial maupun mental di kemudian hari. (*)
*) Mahasiswa magang dari Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: diolah dari berbagai sumber